Beasiswa dari Bank Konvensional

Beasiswa yang diterima dari Bank BII yang saudara sebutkan tidak terlepas dari unsur riba yang diharamkan.
" Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba " (QS al-Baqarah 275).
Dalam perbankan konvensional tidak terlepas dari riba’ (bunga bank) yang diharamkan. Sehingga uang yang terdapat di bank konvensional, disamping ada yang halal juga banyak yang haram. Maka terjadi pencampuran antara yang halal dan yang haram, sehingga statusnya menjadi syubhat. Uang syubhat sedapat mungkin dihindari seperti dalam penegasan hadits
Artinya:”Maka barang siapa yang menjaga dirinya dari barang-barang (perkara) syubhat, maka ia telah membersihkan agamanya dan kehormatannya. Dan siapa yang jatuh pada yang syubhat maka ia telah jatuh pada yang haram." (HR: Bukhari dan Muslim)
Bahkan biasanya perusahaan-perusahaan khususnya perbankan konvensional mengalokasikan dana sosial seluruhnya dari bunga bank. Maka sebaiknya dihindari peminjaman dari perbankan konvensional, apalagi sekarang sudah banyak perbankan yang menggunakan sistem syari’ah.

syariahonline.com   Pusat Konsultasi Syariah

Bagaimana Hukumnya Bila Seorang Muslim Menikah Dengan Non Muslim?

Assalamualaikum. wr. wb. saya hanya ingin tahu bagaimana hukumnya bila seorang muslim menikah dengan non muslim. sekarang ini banyak sekali orang yang melakukannya. dalam Al-qur'an saurat Al-Baqarah ayat 221 tidak memperbolehkan. tetapi ada beberapa pendapat yang menyatakan bahwa itu boleh dilakukan tetapi dengan syarat harus karena Allah SWT (untuk mengislamkan). ada juga yang menyatakan bahwa untuk laki-laki hukumnya boleh, tetapi untuk perempuan tidak boleh. saya ingin kejelasan bagaimana hukumnya menurut Islam. apakah ada hadis Nabi ttg ini? 


Jawaban:

Assalamu `alaikum Warahmatullahi Wabaraktuh
Alhamdulillahi rabbil `alamin, washshalatu wassalamu `ala sayyidil mursalin, wa ba`du,

Islam adalah agama rahmatan lil-`alamin yang mengakui eksistensi agama sebelumnya. Termasuk beriman kepada para nabi yang pernah diutus dan juga kitab-kitab suci yang pernah turun. Dengan demikian, Islam merupakan agama yang paling luas dan sekaligus paling luwes dalam bergaul dengan kalangan non- muslim terutama ahli kitab. Diantara bukti yang menguatkan adalah dihalalkannya sembelihan ahli kitab dan dihalalkannya pula wanita-wanita ahli kitab untuk dinikahi. Kehalalan ini bukan sekedar pendapat ulama saja, tapi merupakan penegasan langsung dri Allah SWT dalam Al-Quran Al-Karim dan As-Sunnah As-syarifah. Karena itu ijma` ulama sejak awal masa Nabi hingga kini tidak berubah atas hukum yang langsung ditentukan oleh Yang Membuat syariat yaitu Allah Azza Wa Jalla. Dan tidak ada pertentangan dalam wahyu-wahyu yang Allah turunkan itu. Allah SWT berfirman :

(Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi.” (QS. Al-Maidah : 5)

Perbedaan Pendapat Di Kalangan Ulama Tentang Kawin Campur
Perkawinan campur dalam pandangan syariat Islam memiliki klasifikasi dan hukum sendiri-sendiri. Islam membedakan antara non muslim yang ahli kitab dengan yang bukan ahli kitab. Juga membedakan antara laki-laki muslim menikahi wanita non muslim dari kalangan ahli kitab dengan wanita muslimah menikah dengan laki-laki kafir.

Wanita muslimah diharamkan menikah dengan laki-laki non muslim, baik dia ahli kitab maupun bukan. Sedangkan laki-laki muslim yang menikahi wanita ahli kitab, dibolehkan oleh jumhur ulama dan diharamkan bila wanita itu kafir yang bukan ahli kitab.

Jumhur shahabat membolehkan laki-laki muslim menikahi wanita kitabiyah, diantaranya adalah Umar bin Al-Khattab, Ustman bin Affan, Jabir, Thalhah, Huzaifah. Bersama dengan para shahabat Nabi juga ada para tabi`Insya Allah seperti Atho`, Ibnul Musayib, al-Hasan, Thawus, Ibnu Jabir Az-Zuhri. Pada generasi berikutnya ada Imam Asy-Syafi`i, juga ahli Madinah dan Kufah. Yang sedikit berbeda pendapatnya hanyalah Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal, dimana mereka berdua tidak melarang hanya memkaruhkan menikahi wanita kitabiyah selama ada wanita muslimah.

Pendapat yang mengatakan bahwa nasrani itu musyrik adalah pendapat Ibnu Umar. Beliau mengatakan bahwa nasrani itu musyrik. Selain itu ada Ibnu Hazm yang mengatakan bahwa tidak ada yang lebih musyrik dari orang yang mengatakan bahwa tuhannya adalah Isa. Namun jumhur Ulama tetap mengatakan bahwa wanita kitabiyah itu boleh dinikahi, meski ada perbedaan dalam tingkat kebolehannya.

Islam masih mentolelir bila seorang laki-laki menikahi wanita non muslim ahli kitab, tetapi wanita muslimah haram hukumnya menikah dengan laki-laki non muslim. Ini disebabkan pertimbangan bahwa laki-laki memiliki qawam (kepemimpinan) yang lebih besr dari wanita. Sehingga meski ibunya non muslimah, tapi ayahnya punya hak preogratif untuk mengislamkan anak-anaknya. Dalam hal ini pengaruh ayah harus jauh lebih kuat dari pengaruh ibu.

Catatan
Lepas dari hukum bolehnya menikahi wanita ahli kitab bagi seorang laki-laki muslim, namun kita pun harus melihat sisi lainnya. Bukan hanya sekedar hukum halal dan haram.

Mari kita renungkan bahwa menikah itu adalah merencanakan hidup kita selanjutnya. Apakah akan lebih Islami atau akan lebih jahili. Semua itu akan besar pengaruhnya pada titik awal pernikahan.

Benar bahwa secara hukum islam atau pendapat jumhur ulama, laki-laki muslim dibolehkan menikah dengan wanita kitabiyah, seperti yang sudah seringkali dibahas dalam konsultasi ini sebelumnya. Tapi masalahnya bukan sekedar boleh atau tidak boleh. Ini berkaitan dengan keluarga, suasana keislaman di rumah anda serta nasib pendidikan anak anda.

Rasulullah SAW memerintahkan kita untuk menikahi wanita karena agama dan kesholehannya, meski dibolehkan juga untuk mempertimbangkan hal lainnya seperti kecantikan, keturunan dan kekayaan. Karena dengan bekal agama dan kesholehannya, iman kita lebih terjaga dan anak-anak kita akan mendapatkan pendidikan Islami sejak dini tanpa banyak hambatan.

Tapi bila istri anda beda agama, sulit membayangkan anda sekeluarga makan sahur bersama, atau shalat berjamaah sekeuarga atau mengaji bersama. Tegakah anda membayangkan wajah-wajah penuh tanya dari anak-anak anda nantinya,”Kenapa mama tidak shalat ?”. “Kenapa mama masuk neraka, padahal dia baik? ” dsb dsb. Yang jelas anda akan pusing melihat ini. Jadi sebagai muslim yang bijaksana tentu setiap orang akan berpikir dua kali lebih baik dari pada terburu nafsu. Toh kecantikan dan cinta itu sebenarnya semua belaka. Karena itu Umar bin Al-Khattab pernah memerintahkan dua orang shahabat nabi untuk segera menceraikan istri mereka yang dari kalangan ahli kitab. Karena akan menimbulkan fitnah di kemudian hari. Meski pada dasarnya tidak diharamkan.

Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab,
Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.

Bagaimana Hukum Menikah Adat Jawa Dengan Siraman Untuk Wanita Berjilbab?

Ass.Wr.Wb. Sbenarnya saya ingin menikah hanya sesuai dengan syariat islam tanpa ada acara adat jawa terlalu ribet, tetapi Ibunda ingin saya menikah dengan adat jawa apalagi pake siraman yang mana biasanya siraman itu mandi dari atas rambut sampai kaki, dan terdapat para undangan, sedangkan saya berjilbab. Jika saya tidak memtuhi keinginan Ibunda takut dosa. Yang saya tanyakan bagaimana hukum menikah adat jawa dengan siraman untuk wanita yang berjilbab? Apakah dapat dibuka jilbab tersebut untuk undangan yang muhrim tapi bagaimana ketika ibunda ingin didokumentasikan kan dilihat orang banyak? Terima kasih atas jawabannya. Wass.Wr.Wb. 

Jawaban:
Assalamu `alaikum Warahmatullahi Wabaraktuh
Alhamdulillah, Washshalatu wassalamu `ala Rasulillah, wa ba’d.
Anda tidak berdosa ketika menolak permintaan ibu Anda untuk membuka aurat di depan khalayak yang bukan mahram. Sebab perintah untuk menutup aurat itu datangnya dari Allah, Tuhan yang menciptakan ibu Anda. Kedudukan Allah SWT jauh lebih tinggi untuk ditaati ketimbang mentaati ibu Anda dalam masalah ini.
Rasulullah SAW menegaskan bahwa tidak ada ketaatan kepada makhluq dalam rangka bermaksiat kepada Al-Khaliq ( Allah SWT ).
Adat melakukan siraman itu sendiri sebenarnya tidak diajarkan dalam syariat Islam. Sehingga bila tidak dilakukan pun tidak apa-apa. Bahkan sebagian ulama sampai kepada taraf mengharamkannya lantaran adat seperti ini seringkali diikuti oleh kepercayaan yang menyimpang dari aqidah Islamiyah.
Lagi pula, kebanyakan orang saat ini tidak tahu menahu landasan mengapa harus melakukan segala praktik itu. Yang terjadi umumnya hanyalah ikut-ikutan belaka tanpa pernah mengerti hakikatnya. Atau sekedar gengsi yang berlebihan. Meski pun kita memungkiri masih ada di antara elemen masyarakat yang masih kental berpegang teguh kepada tradisi demikian.
Kita tidak harus berkonfrontasi dengan kalangan mereka, sebab bisa jadi mereka sejak kecil dicetak untuk menjadi demikian, sehingga untuk merubahnya masih diperlukan proses yang panjang. Namun seiring dengan perjalanan waktu, insya Allah kita bisa sedikit demi sedikit melakukan beberapa koreksi yang konstruktif sesuai dengan syariah Islam. Tanpa harus menimbulkan gejolak di tengah masyarakat.
Sebab kita pun tidak boleh menafikan adanya unsur-unsur kebaikan di dalam tradisi masyarakat tertentu. Maka yang perlu dilakukan adalah melakukan analisa dan kajian kritis untuk mencari garis tengah antara syariat dan tradisi itu.
Dalam hal ini, para pemangku adat perlu diajak berdialog dengan para ahli syariah untuk mencari titik temu yang bisa diterima bersama.
Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab,
Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.

Pusat Konsultasi Syariah    syariahonline.com

Apakah Wahabi itu ?

Assalamu'alaikum bolehkan secara ringkas para ustaz menggambarkan wahabi; sejarah,pokok-pokok pemikiran, sekaligus gambaran seberapa jauh pemahaman ini mewarnai / mempengaruhi pemikiran-pemikiran islam di tanah air ?
terima kasih
wassalam

Jawaban:
Assalamu `alaikum Warahmatullahi Wabaraktuh
Alhamdulillahi rabbil `alamin, washshalatu wassalamu `ala sayyidil mursalin, wa ba`du,
Istilah wahabi sebenarnya bukan istilah baku dalam literatur Islam. Dan pengindentifikasian wahabi kepada sebagian umat Islam pun kurang objektif.
Kata `Wahabi` bila kita runut dari asal katanya mengacu kepada tokoh ulama besar di tanah Arab yang bernama lengkap Syeikh Muhamad bin Abdul Wahhab At-Tamimi Al-Najdi (1115-1206 H atau 1703-1791 M). Beliau lahir di Uyainah dan belajar Islam dalam mazhab Hanbali. Belliau telah menghafal Al-Quran sejak usia 10 tahun. Dakwah beliau banyak disambut ketika beliau datang di Dir`iyah bahkan beliau dijadikan guru dan dimuliakan oleh penguasa setempat sat yaitu pangeran Muhammad bin Su`ud yang berkuasa 1139-1179. Oleh pangeran, dakwah beliau ditegakkan dan akhirnya menjadi semacam gerakan nasional di seluruh wilayah Saudi Arabia hingga hari ini.
Pokok ajaran Muhammad bin Abdul Wahhab
Sosok Muhammad bin Abdul Wahhab menjadi pelopor gerakan ishlah (reformasi) yang muincul menjelang masa-masa kemunduran dan kebekuan berpikir pemikiran dunia Islam sekitar 3 abad yang lampau atau tepatnya pada abad ke-12 hijriyah. Dakwah ini menyerukan agar aqidah Islam dikembalikan kepada pemurnian arti tauhid dari syirik dengan segala manifestasinya.
Sementara fenomena umat saat itu sungguh memilukan. Mereka telah menjadikan kuburan menjadi tempat pemujaan dan meminta kepada selain Allah. Kemusyrikan merajalela. Bid`ah, khurafat dan takhayyul menjadi makanan sehari-hari. Dukun, ramalan, sihir, ilmu ghaib seolah menjadi alternatif untuk menyelesaikan berbagai persoalan dalam kehidupan umat Islam.
Muhammad bin Abdul Wahhab saat itu bangkit mengajak dunia Islam untuk sadar atas kebobrokan aqidah ini. Beliau menulis beberapa risalah untuk menyadarkan masyarakat dari kesalahannya. Salah satunya adalah kitabuttauhid yang hingga menjadi rujukan banyak ulama aqidah.
Dakwah Muhammad bin Abdul Wahhab ini kemudian melahirkan gerakan umat yang aktif menumpas segala bentuk khurafat, syirik, bid`ah dan beragam hal yang menyeleweng dari ajaran Islam yang asli. Mereka melarang membangun bangunan di atas kuburan, menyelimutinya atau memasang lampu di dalamnya. Mereka juga melarang orang meminta kepada kuburan, orang yang sudah mati, dukun, peramal, tukang sihir dan tukang teluh. Mereka juga melarang tawassul dengan menyebut nama orang shaleh sepeti kalimat bi jaahi rasul atau keramatnya syiekh fulan dan fulan.
Dakwah beliau lebih tepat dikatakan sebagai dakwah salafiyah. Dakwah ini telah membangun umat Islam di bidang aqidah yang telah lama jumud dan beku akibat kemunduran dunia Islam. Mereka memperhatikan pengajaran dan pendidikan umum serta merangsang para ulama dan tokokh untuk kembali membuka literatur kepada buku induk dan maraji` yang mu`tabar, sebelum menerima sebuah pemikiran.
Mereka tidak mengharamkan taqlid namun meminta agar umat ini mau lebih jauh meneliti dan merujuk kembali kepada nash dan dalil dari Kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW serta pendapat para ulama salafus shalih.
Di antara tokokh ulama salaf yang paling sering mereka jadikan rujukan adalah :
1.      Imam Ahmad ibn Hanbal (164-241 H)
2.      Ibnu Taimiyah (661-728 H)
3.      Muhammad Ibnul Qayyim Al-Jauziyah (6691-751H) 
Oleh banyak kalangan, gerakan ini dianggap sebagai pelopor kebangkitan pemikiran di dunia Islam, antara lain gerakan Mahdiyah, Sanusiyah, Pan Islamisme-nya Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh di Mesir dan gerakan lainnya di benua India. Paling tidak, masa hidup Muhammad bin Adbul Wahhab lebih dahuku dari mereka semua. Dalam penjulukan yang kurang tepat, gerakan ini sering dijuluki dengan wahabi. Namun istilah ini tidak pernah diterima oleh mereka yang ikut mengembangkan dakwah salafiyah. 
Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab,
Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.
Pusat Konsultasi Syariah    syariahonline.com

Apakah Jin Bisa Dilihat Manusia?

Allah SWT berfirman yang artinya, ”Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka.” (Al-A’raf: 27).
Ayat ini dipahami oleh sekian banyak ulama sebagai dalil ketidakmungkinannya manusia melihat jin. Imam Syafii menegaskan, bahwa berdasrkan ayat di atas, manusia tidak mungkin melihat jin. “Siapa yang mengaku dapat melihat jin, maka kami tolak kesaksiannya, kecuali nabi.” (Maksud ucapan ini adalah yang mengaku melihat jin dalam bentuk yang aslinya. Adapun yang mengaku melihat jin setelah berubah bentuk dengan aneka bentuk makhluk, maka kesaksiannya dapat diterima).

Sebagian yang lain mengakui bahwa jin dapat dilihat oleh manusia jika jin berubah dengan bentuk makhluk yang dapat dilihat oleh manusia. Pendapat ini didukung oleh riwayat-riwayat yang menginformasikan bahwa para sahabat Nabi saw., tabi’in, dan banyak ulama pernah melihat makhluk-makhluk halus, tetapi dalam bentuk manusia atau binatang.

Imam Muslim meriwayatkan dalam kitab sahihnya bahwa sahabat-sahabat Nabi saw. pernah melihat Malaikat Jibril ketika ia datang dalambentuk manusia. Umar bin Khattab menuturkan bahwa suatu ketika datang seorang yang tidak dikenal, berpakaian sangat putih, rambut teratur rapi, tidak nampak dari penampilannya tanda-tanda bahwa ia datang dari perjalanan jauh. Orang itu bertanya kepada Nabi saw. tentang Islam, iman, dan ihsan. Setiap Nabi saw. menjawab, dia membenarkannya. Dia juga bertanya tentang kiamat dan tanda-tandanya. Umar r.a. dan juga sahabat-sahabat Nabi saw. yang mendengarnya terheran-heran. Bagaimana seorang yang berpenampilan rapi, berpakaian bersih, yang berarti bahwa yang bersngkutan tidak datang dari tempat jauh atau dengan kata lain ia adalah penduduk setempat tetapi tidak mereka kenal? Mereka juga terheran-heran mengapa setiap pertanyaannya yang dijawab oleh Nabi saw., selalu yang bertanya itu sendiri yang membenarkannya. Ketika percakapan Nabi saw. dan pendatang itu selesai, Nabi saw. bertanya kepada para sahabatnya, ”Tahukah kalian, siapa yang datang tadi?” Mereka menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang tahu. Nabi saw. menjelaskan, ”Itulah Jibril datang mengajar kalian agama kalian.” Mendengar penjelasan Nabi saw. itu, Umar r.a. bergegas keluar hendak melihatnya, tetapi ia telah menghilang.

Nah, jika demikian, malaikat dapat dilihat, tetapi bukan dalam bentuk aslinya. Ia dapat dilihat apabila mengambil bentuk yang memungkinkan untuk dilihat manusia.

Demikian halnya dengan jin, ia dapat dilihat bukan dalam bentuk aslinya, tetapi bila ia mengambil bentuk yang sesuai dengan potensi penglihatan manusia. Riwayat-riwayat tentang hal ini sangat banyak. Bahkan, tidak hanya ulama, orang-orang biasa yang tidak ahli agama pun banyak yang mengalami melihat jin dalam bentuk makhluk (manusia atau lainnya). Dan, di antara mereka ada yang sengaja dengan sunguh-sungguh ingin melihat jin, mereka mengamalkan amalan dari orang-orang yang dianggap ahli dalam hal itu, dan mereka ada yang berhasil mendapatinya bahwa jin dapat dilihat dalam bentuk makhluk.

Selain itu, ada beberapa hadis Nabi saw. yang menginformasikan bahwa ada binatang yang dapat melihat jin. Dalam sahih Bukhari dan Muslim, sahabat Nabi Abu Hurairah menyampaikan bahwa Nabi saw. bersabda, ”Kalau kalian mendengar suara ayam jantan berkokok, maka mohonlah kepada Allah anugerah-Nya, karena ketika itu dia melihat malaikat, dan jika kalian mendengar teriakan keledai, maka mohonlah perlindungan kepada Allah dari godaan setan, karena ketika itu dia melihat setan.”

Sumber: Diadaptasi dari Yang Tersembunyi: Jin Iblis, Setan, & Malaikat dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah serta Wacana Pemikiran Ulama Masa Lalu dan Masa kini, M. Quraish Shihab

Apakah Alasan Perempuan Tidak Boleh Menikahi Pria Non Muslim

Assalamualaikum Wr. Wb.
Saya seorang mahasiswi tingkat 3, saya ingin mengetahui apakah alasan seorang wanita muslim tidak boleh menikah dengan seorang pria non muslim, sedangkan seorang pria non muslim boleh menikah dengan wanita non muslim.
Saya pernah membaca di salah satu artikel di dalam website ini, yang mengatakan bahwa salah satu alasannya adalah karena pria sebagai figur pemimpin sehingga anak-anak dari pria muslim tersebut dapat mengikuti agama bapaknya. Yang saya ingin tanyakan adalah apabila saya menikah dengan pria non muslim tapi sebelumnya saya memiliki kesepakatan dengan calon suami saya agar anak-anak saya mengikuti agama saya (Islam) bagaimana??

Jawaban:
Assalamu `alaikum Wr. Wb.
Al-Hamdulillahi Rabbil `Alamin, Washshalatu Wassalamu `Alaa Sayyidil Mursalin, Wa `Alaa `Aalihi Waashabihi Ajma`in, Wa Ba`d
Yang Anda sebutkan itu bukan alasan diharamkannya menikah dengan laki-laki non muslim, melainkan hanya hikmah. Sedangkan hukum keharamannya tetap berlaku, meski pun seorang muslimah itu berani menjamin bahwa anak-anaknya tidak akan beragama lain.
Sebab dalam hukum pernikahan cara Islam, nikahnya wanita muslimah dengan laki-laki non muslim itu haram, baik mereka nantinya akan punya anak atau tidak. Haramnya bukan karena nanti anaknya mau dimurtadkan, tetapi haramnya adalah pada saat menikahnya itu sendiri. Bahwa nanti anaknya dijamin masuk Islam, tidak ada urusan dengan keharaman nikah.
Dalilnya sangat jelas, mutlaq dan qath’i, sehingga tak terbantahkan. Dan seluruh jumhur ulama seama 14 abad sejak zaman Rasulullah SAW hingga sekarang ini sepakat atas keharamannya.
Al-Quran Al-Karim dengan gamblang mengharamkannya.
Jangan kamu kawinkan anak-anak perempuanmu dengan laki-laki musyrik sehingga mereka itu masuk Islam (QS. Al-Baqarah: 221)
Kalau sudah yakin mereka itu perempuan-perempuan mu'minah, maka janganlah dikembalikan kepada orang-orany kafir, sebab mereka itu tidak halal bayi kafir dan orang kafir pun tidak halal buat mereka (muslimah). (QS. Al-Mumtahanah: 10)
Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk dapat menguasai orang-orang beriman” (An-Nisaa: 141)
Oleh karena itu Jumhurul ulama sepakat menyatakan bahwa pernikahan seorang muslimah dengan non muslim, baik itu berasal dari kaum musyrik maupun ahli kitab, hukumnya bathil. Dan karena itu pernikahan tersebut tidak berakibat hukum apapun. Tidak sebagaimana halnya nikah yang shohih/syah. Karena pernikahan yang shohih mempunyai akibat-akibat hukum tertentu. (Bidaytul mujtahid 2/31-49, al-Muhadzdzab 2/46-47, al-Mughny 6/455-….)
Pernikahan tersebut tidak dapat menghalalkan hubungan suami istri, sehingga kalau mereka melakukannya pelakunya dianggap melakukan zina. Di samping itu pernikahan tersebut tidak dapat menjadi sebab untuk saling mewarisi baik antar suami istri tersebut, maupun anak-anak mereka.
Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab,
Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.

Adzab Kubur Menimpa Jasad Ataukah Ruh?

Pertanyaan :
Apakah adzab kubur itu menimpa jasad ataukah menimpa ruh ?

Jawab :
Pada dasarnya adzab kubur itu akan menimpa ruh, karena hukuman setelah mati adalah bagi ruh. Sedangkan badannya adalah sekedar bangkai yang rapuh. Oleh karena itu badan tidak memerlukan lagi!) bahan makanan untuk keberlangsunganya ; tidak butuh makan dan minum, bahkan justru dimakan oleh tanah.
Akan tetapi Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah berkata bahwa ruh kadang masih bersambung dengan jasad sehingga diadzab atau diberi nikmat bersama-sama. Adapula pendapat lain di kalangan Ahlus Sunnah bahwa adzab atau nikmat di alam kubur itu akan menimpa jasad, bukan ruh.
Pendapat ini beralasan dengan bukti empiris. Pernah dibongkar sebagian kuburan dan terlihat ternyata bekas siksa yang menimpa jasad. Dan pernah juga dibongkar kuburan yang lain ternyata terlihat bekas nikmat yang diterima oleh jasad itu.
Ada sebagian orang yang bercerita kepadaku bahwa di daerah Unaizah ini ada penggalian untuk membuat benteng batas wilayah negeri. Sebagian dari daerah yang di gali itu ada yang bertepatan dengan kuburan. Akhirnya terbukalah suatu liang lahat dan di dalamnya masih terdapat mayat yang kafannya telah dimakan tanah, sedangkan jasadnya masih utuh dan kering belum dimakan apa-apa. Bahkan mereka mengatakan melihat jenggotnya, dan dari mayat itu terhambur bau harum seperti minyak misk.
Para pekerja galian itu kemudian menghentikan pekerjaannya sejenak dan kemudian pergi kepada seorang Syaikh untuk mengutarakan persoalan yang terjadi. Syaikh tersebut berkata, "Biarkan dalam posisi sebagaimana adanya. Hindarilah ia dan galilah dari sebelah kanan atau sebelah kiri !".
Beralasan dari kejadian-kejadian seperti ini, ulama menyatakan bahwa ruh terkadang bersambung dengan jasad, sehingga siksa itu menimpa ruh dan jasad. Barangkali ini pula yang diisyaratkan oleh sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam!) : "Sesungguhnya kubur itu akan menghimpit orang kafir sehingga remuk tulang-tulang rusuknya". Ini menunjukkan bahwa siksa itu menimpa jasad, karena tulang rusuk itu terdapat pada jasad. Wallahu A'lam
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin


UTSMAN BIN AFFAN

         Dia adalah ‘Utsman bin ‘Affan bin Abul ‘Ash bin ‘Umayyah bin Abdu Syams bin Abdu Msnaf,. Dia dipanggil Abu ‘Amr, juga Abu Abdullah. 
Dia dijuluki Dzu Nurain, karena dia satu-satunya laki-laki yang mengawini dua orang putri Nabi saw, juga karena dia mengkhatamkan Al Qur’an dalam shalat witir sehingga ia mendapat dua cahaya yaitu cahaya shalat dan cahaya cahaya qiyam al lail. Ada yang mengatakan setelah masuk surga bercahaya dua kilauan. Nasabnya bertemu dengan nasab Nabi saw pada Abdu Manaf.
Utsman bin Affan termasuk shahabat yang pertama masuk Islam atas ajakan Abu Bakar ra, bersama dengan Sa’ad bin Abi Waqqash, Abdurahman bin ‘Auf, ‘Utsman bin Affan, Thalhah bin ‘Ubaidillah, dan Zubair bin Awwam. Utsman juga termasuk shahabat Nabi saw yang dipersaksikan masuk surga oleh beliau di antara sepuluh sahabat lainnya.
Sebagian orang menuduh Utsman bin Affan pernah melarikan diri dari perang Uhud, tidak mengikuti perang Badar dan tidak mengikuti Bai’at al Ridwan. Di dalam hal tersebut Ibnu Umar menjelaskan, “Aku jelaskan kepadamu! Tentang dia melarikan diri dari perang Uhud, aku bersaksi bahwa Allah memaafkannya dan mengampuninya. Tentang dia tidak ikut perang Badar, karena putri Rasulullah saw, Ruqayyah –istri Utsman- sedang dalam keadaan sakit, maka Rasulullah saw memerintahkan kepadanya untuk tidak mengikuti perang bersama Usamah bin Zaid. Maka Rasulullah saw bersabda kepadanya, “Kau mendapat pahala orang yang menyaksikan perang Badar dan mendapatkan bagiannya”.
Nabi bersabda, “Barangsiapa mempersiapkan perlengkapan pasukan Al Usrah (Perang Tabuk0 maka baginya surga.” Maka Utsman mempersiapkan perlengkapan itu sebanyak seribu dinar. Dalam riwayat lain: dan dengan tiga ratus ekor onta.

THALHAH BIN UBAIDILLAH

         Siapa yang suka melihat seorang laki-laki yang masih berjalan di muka bumi, padahal ia rela memberikan nyawanya, maka hendaklah ia memandang Thalhah …….!”
Dia adalah Thalhah bin Ubaidillah bin Utsman bin Amr bin Ka’ab bin Sa’ad bin Taim bin Murrah bin Ka’ab bin Luay. Nasab Thalhah bertemu dengan Rasulullah saw pada Murah bin Ka’ab.
Ketika dalam perjalanan berniaganya ke kota Bashra, Thalhah bin Ubaidillah berjumpa dengan seorang pendeta yang amat baik. Di waktu itu s`ng pendeta memberi tahu padanya, bahwa ada seorang Nabi yang akan muncul di tanah Haram, sebagaimana  telah diramalkan oleh para Nabi yang shalih, masa tersebut telah datang. Diperingatkannya pula agar Thalhah tidak ketinggalan menyertai kafilah kerasulan itu, yaitu kafilah pembawa petunjuk, rahmat dan pembebasan.
Dan sewaktu Thalhah tiba kembali di negerinya Mekkah, sesudah berbulan-bulan dihabiskannya di Bashra, ia menangkap bisik-bisik penduduk dan mendengar percakapan tentang Muhammad Al Amin dan tentang wahyu yang telah datang kepadanya, begitupun tentang kerasulan yang dibawanya  kepada seluruh umat manusia.
Orang yang mula-mula ditanyakan Thalhah ialah Abu Bakar. Maka diketahuinya bahwa ia baru saja pulang dengan kafilah beserta barang perniagaaannya, dan bahwa ia berdiri di samping Muhammad saw selaku mukmin, sebagai pembela yang menyerahkan dirinya kepada Tuhan pemeliharanya.
Thalhah berbicara kepada dirinya sendiri: ”Muhammad saw dan Abu Bakar, demi Allah, tak mungkin kedua orang ini bersekongkol dalam kesesatan kapanpun”. Muhammad saw telah mencapai usia 40 tahun, masyarakatpun mengenal bahwa belum pernah beliau melakukan kebohongan sampai usianya yang sekian lama itu. Apakah mungkin ia berdusta hari ini terhadap Allah. Apakah mungkin ia berdusta lalu mengatakan bahwa Allah telah mengutusnya dan mengirimkan wahyu kepadanya... Suatu hal yang tidak masuk akal!
Thalhah pun menemui Abu Bakar. Dan berlangsunglah pembicaraan di antara keduanya. Kemudian ia ditemani Abu Bakar pergi kepada Rasulullah saw, dimana ia menyatakan keislamannya dan mengambil tempat dalam kafilah yang diberkati ini, dari angkatan pertama. begitulah Thalhah termasuk orang yang memeluk Islam pada angkatan terdahulu.
Thalhah termasuk seorang yang terpandang dalam kaumnya, dan seorang hartawan besar dengan perniagaan yang selalu meningkat. Apabila ia telah melaksanakan haq Tuhan Pemeliharanya, dengan beribadah dan berjihad, ia pergi berusaha di muka bumi, mencari keridhaan Allah dengan mengembangkan perniagaannya yang memberi laba, dan usaha-usaha lain yang membawa hasil. Thalhah ra adalah seorang Muslimin yang terbanyak hartanya dan paling berkembang kejayaannya. Semua harta bendanya dipergunakannya untuk perjuangan Islam, yang benderanya dipanggulnya bersama Rasulullah saw. Dinafqahkannya hartanya tanpa batas dan oleh sebab itu pula Allah menambahkan untuknya secara tak berhingga pula.
Rasulullah saw memberinya gelar “Thalhah si baik hati” atau “Thalah si pemurah” dan “Thalhah si dermawan” sebagai pujian atas kedermawanannya yang melimpah-limpah. dan setiap kali mengeluarkan hartanya sebegitu banyak, maka ternyata Allah yang Maha Pemurah menggantinya berlipat ganda.
Istrinya Su’da bin Auf menceritakan, katanya: ”Suatu hari saya menemukan Thalhah berduka cita, aku bertanya kepadanya: ”Ada apa denganmu..?” Maka jawabnya: ”Soal harta yang ada padaku ini..!” semakin banyak juga, hingga menyusahkan dan menyempitkanku!” Katanya: ”Tidak jadi soal, bagi-bagikan saja!” Ia lalu berdiri memanggil orang banyak, kemudian membagi-bagikannya kepada mereka, hingga tidak ada yang tinggal lagi walau satu dirham..”
Di suatu saat setelah ia menjual sebidang tanah dengan harga yang tinggi, maka dilihatnya tumukan harta. Lalu mengalirlah air matanya, kemudian dia berkata: ”Sungguh, bila seseorang dibebani memalami harta yang beghni banyaknya dan tidak tahu apa yang akan terjadi pasti akan menggangu ketentraman ibadah kepada Allah”. Kemudian dipanggilnya sebagian shahabatnya dan bersama-sama mereka membawa hartanya itu berkeliling melalui jalan-jalan kota Madinah dan rumah-rumahnya sambil membagi-bagikannya sampai parak siang  sehingga tiada yang tertinggal lagi walau satu dirham.
Jabir bin Abdullah menggambarkan pula kepemurahan Thalhah dengan berkata: ”Tak pernah aku melihat seseorang yang lebih dermawan dengan memberikan hartanya yang banyak tanpa diminta lebih dahulu, daripada Thalhah bin Ubaidillah..!”
Ia adalah seorang yang paling banyak berbuat baik kepada keluarga dan kaum kerabatnya; ditanggungnya nafqah mereka semua sekalipun demikian banyaknya. Sebagian orang mengatakan: ”Tak seorangpun dari bani Taim yang mempunyai tanggungan, melainkan dicukupinya perbelanjaan keluarganya. Dinikahkannya anak-anak yatim mereka, diberinya pekerjaan keluarga mereka dan dilunasinya hutang-hutang mereka….”
As Sa’ib bin Zaid menceritakan: “Aku telah menemui Thalhah baik dalam perjalanan maupun waktu menetap, maka tak pernah kujumpai seseorang yang lebih merata kepemurahannya, baik mengenai uang, kain atau makanan daripada Thalhah.”
Sebagai orang yang pertama masuk Islam, Thalhah menyeksikan dan merasakan berbagai macam penderitaan akibat penganiayaan dan siksaan karena keislamannya, yang dilakukan oleh orang kafir Quraisy sebagaimana yang dialami kaum muslimin yang lain, sekalipun ia orang yang terpandang dalam kaumnya, dan seorang hartawan besar dengan perniagaan yang selalu meningkat. Hanya saja Thalhah dan Abu Bakar mendapat perlindungan dari Naufal bin Khuwailid, si singa Quraisy paman Khadijah, istri Rasul saw. sehingga penganiaaya terhadap keduanya tidak  berlangsung  lama, karena orang-orang musryrik Quraisy merasa segan kepadanya serta takut pula akan akibat perbuatan mereka.
Thalhah ikut berhijrah ke Madinah sewaktu orang-orang Islam diperintahkan hijrah. Kemudian ia selalu menyaksikan semua peperangan bersama Rasulullah saw, kecuali perang Badar, karena waktu itu Rasul saw mengutusnya bersama Sa’ad bin Zaid untuk suatu keperluan penting keluar kota Madinah.
Sewaktu keduanya telah menyelesaikan tugas mereka dengan baik, dan kembali ke Madinah, kebetulah Nabi saw dengan para shahabatnya yang lain sedang kembali pula dari perang Badar. Alangkah sedih dan perih perasaan keduanya kehilangan pahala karena tidak menyertai Rasulullah saw berjihad dalam peperangan yang pertama itu.
Tetapi Rasul saw  menentramkan hati mereka hingga tenang dan mantap dengan memberitahukan bahwa mereka tetap memperoleh pahala dan ganjaran yang sama seperti orang-orang yang berperang. Bahkan Rasul saw membagikan rampasan  perang kepada keduanya, tidak kurang dari mereka yang didapat oleh mereka yang menyertainya.
Ketika terjadi perang Uhud yang memperlihatkan segala kebengisan dan kekejaman Quraisy, yang tampil hendak membalas dendam atas kekalahannya di perang Badar dan  untuk mengamankan tujuan terakhirnya dengan menimpakan kekalahan yang menentukan atas Muslimin yang menurut perkiraan mereka suatu soal mudah dan pasti dapat terlaksana.
Peperangan dahsyat pun$26nbsp; berlangsung dan korban-korban yang berjatuhan, kekalahan tampak berada di fihak kaum musyrikin. Kemudian sewaktu kaum Muslimin melihat musuh mengundurkan diri, mereka sama meletakkan senjata dan para pemanah turun meninggalkan kedudukan mereka, pergi memperebutkan harta rampasan.
Tiba-tiba sewaktu mereka lengah, pasukan Quraisy menyerang kembali dari belakang hingga berhasil merebut prakarsa dan menguasai kendali pertempuran. Sekarang peperangan mulai berkecamuk lagi dengan segala kekejaman dan kedahsyatannya. Serangan mendadak yang tiba-tiba itu, rupanya telah menceraiberaikan barisan Kaum Muslimin. Thalhah memperhatikan daerah peperangan tempat Rasulullah saw bediri. Dilihatnya Rasulullah saw menjadi sasaran empuk serbuan pasukan penyembah berhala dan musyrik, maka ia pun dengan cepat bersegera ke arah Rasullah saw. Thalhah ra. terus maju menebas jalan yang walaupun pendek tetapi terasa panjang, setiap jengkal jalan dihadang puluhan pedang yang bersilang dan tombak-tombak yang mencari  mangsanya.
Dari jauh dilihatnya Rasulullah saw bercucuran darah dari pipinya, sedang berjalan menahan kesakitan yang amat sangat. Ia naik pitam dan berang, lalu diambilnya jalan pintas dengan satu atau dua lompatan dahsyat dari kudanya dan benarlah, dihadapan Rasulullah saw sekarang ia menemukan apa yang ditakutinya, pedang-pedang musyrikin menyambar-nyambar kearah Rasul saw, mengepung dan hendak membinasakannya, bagaikan satu peleton tentara, Thalhah berdiri kokoh dan mengayunkan pedangnya yang ampuh ke kiri dan ke kanan. Ia dapat melihat darah Rasul saw yang mulia menetes dan mendengar rintihan kesakitannya. Maka diraihnya Nabi saw dengan tangan kiri dari lobang tempat kakinya terperosok, sambil memapah Rasul saw  yang mulia dengan dekapan tangan kiri ke dadanya, ia mundur ke tempat  yang aman, sementara tangan kanannya – Allah memberkati tangan kanannya – mengayun-ayunkan pedangnya bagaikan kilat menusuk dan menyabet orang-orang musyrik yang hendak mengerumuni Rasul saw bagaikan belalang memenuhi medan pertempuran.
Bakar Shidiq ra menggambarkan keadaman medan tempur kala itu, kata Aisyah: ”Bila disebutkan perang Uhud, maka Abu Bakar berkata: ”Itu semuanya adalah hari Thalhah…! Aku adalah orang yang mula-mula mendapatkan Nabi saw, maka berkatalah Rasul saw kepadaku dan kepada Abu Ubaidah Ibnul Jarrah: ”Tolong, saudaramu itu…(Thalhah)!” Kami lalu menengoknya, dan ternyata pada sekujur tubuhnya terdapat lebih dari tujuh puluh  luka berupa tusukan tombak, sobekan pedang dan tancapan panah, dan ternyata anak jarinya putus, maka kami segera merawatnya dengan baik.”
Semua medan tempur dan peperangan Thalhah selalu berada di barisan terdepan, mencari keridhaan Allah dan membela Rasul-Nya. Thalhah hidup di tengah-tengah jama’ah Muslimin, mengabdi kepada Allah bersama mereka yang beribadah, dan berjihad di jalan-Nya bersama mujahidin yang lain. 
Pada masa Khilafah Utsman ra. timbul masalah besar besar, Thalhah menyokong alasan mereka yang menentang Utsman dan membenarkan sebagian tuntutan mereka mengenai perubahan dan perbaikan. Akan tetapi, akhir dari haltesebut adalah hal yang sama sekali tidak diinginkan, yaitu terbunuhnya “Dzun Nur’ain” Utsman bin ‘Affan dalam peristiwa berdarah dan kejam.
Setelah itu, Ali bin Abi Thalib menerima Bai’at dari kaum Muslimin di Mdinah, di antaranya Thalhah dan Zubair, kemudian keduanya meminta izin pergi melaksanakan ‘umrah ke Mekkah. Dari Mekkah mereka menuju Bashra dan disana telah berhimpun banyak kekuatan yang hendak menuntut bela kematian Utsman. “Waq’atul Jammal” atau peristiwa perang Berunta adalah peran di mana bertempur dua pasukan, yang satu menuntut bela atas terbunuhnya Utsman dan yang lain pasukan khalifah yang sah di bawah Khalifah Ali bin Abi Thalib ra.
Adapun Imam Ali dalam memikirkan situasi sulit yang sedang melanda Islam dan Kaum Muslimin, diapun bersedih namun ia dipaksa untuk bertindak keras dan tegas dalam kedudukannya selaku khalifah Muslimin, tak ada jalan lain, dan tidak sepantasnya ia bersikap lunak terhadap pembangkanan atas pemerintahan yang sah, atau terhadap setiap pemberontakan bersenjata melawan Khalifah yang telah dikukuhkan syari’at.
Di kala ia bangkit untuk memadamkan pemberontakan semcam ini, maka ia selalu mencari jalan untuk menghindarkan tertumpahnya darah saudara-saudaranya, para shahabat dan teman-temannya, para pengikut Rasulullah saw, yaitu mereka yang semenjak lama telah berperang bersamanya melawan tentara musyrik, menerjuni pertempuran bahu-membahu di bawah bendera tauhid yang mempersatukan mereka sebagai satu keluarga, bahkan menjadikan mereka sebagai saudara kandung yang saling membela.
Peperangan tidak dapat dihindari, Ali menangis dan mengucurkan air mata sewatu ia melihat Ummul Mu’minin, Aisyah, yang juga sebagai istri mertuanya, dalam sekedup untanya, bertindak sebagai panglima perang bala tentara yang hendak memerangnya, dan Thalhah dan Zubair, pembela-pembela Rasulullah saw itu berada di tengah-tengah pasukan Aisyah. Ali memanggil Thalhah dan Zubair agar keduanya muncul menghadapnya, keduanya pun tampil hingga leher kuda-kuda  mereka bersentuhan. Ali berkata kepada Thalhah :” Hai Thalhah, pantaskah engkau membawa isteri Rasulullah untuk berperang, sedangkan istrimu sendiri kau tinggalkan di rumah?” Kemudian katanya kepada Zubair: ”Aku minta kau jawab karena Allah! Tidakkah engkau ingat, di suatu hari Rasulullah saw lewat di hadapanmu sedang ketika itu kita sedang berada di tempat si fulan. Beliau berkata kepadamu:” Wahai Zubair tidakkah engkau cinta kepada Ali?, maka jawabmu, ”Mengapa aku tidak cinta kepada saudara sepupuku, anak bibi dan anak pamanku, serta orang yang satu agama denganku?” Waktu itu beliau berkata lagi:” Hai Zubair, demi Allah, bila engkau memeranginya, jelas engkau berlaku dhalim kepadanya!” Waktu itu berkatalah Zubair  ra.: “Ya, sekarang aku ingat, hampir aku melupakannya! Demi Allah aku tak akan memerangimu.!”
Thalhah dan Zubair menarik diri dari perang saudara ini. mereka menghentikan peperangan segera setelah tahu duduk persoalannya, apalagi ketika mereka melihat Ammar bin Yasir berperang di fihak Ali. Mereka teringat akan sabda Rasulullah saw kepada Ammar: ”Yang akan membunuhmu ialah golongan orang durhaka..!” Seandainya Ammar terbunuh dalam peperangan yang disertai Thalhah ini, tentulah ia termasuk golongan orang-orang yang durhaka.
Thalhah dan Zubair mengundurkan diri dari peperangan, dan mereka terpaksa membayar harga pengunduran itu sampai nyawa mereka. Tetapi mereka beruntung dapat menemui Allah dengan hati yang senang dan tentram, disebabkan karunia yang tela dilimpahkanNya kepada mereka, berupa petunjuk dan fikiran yang benar.
Adapun Zubair ia telah diikuti seorang laki-laki bernama Amru bin Jarmuz yang membunuhnya dikala ia sedang lengah, yakni sewaku ia sedang shalat. Sedangkan Thalhah, ia dipanah  oleh Marwan bin Hakam yang menghabisi hayatnya. Akhirnya, Ummul Mu’minin, Asyah ra menyadari bahwa ia telah tergesa-gesa dalam menghadapai persoalan itu, karena itu ditinggalkannya Bashra menuju Baitul Haram dan terus ke Madinah, tak hendak campur tangan lagi  dalam pertarungan itu. Ia dibekali oleh Imam Ali dalam perjalanannya dengan segala perbekalan dan diringi penghormatan.
Sewaktu Ali meninjau orang-orang yang gugur sebagai syuhada di medan tempur, semua mereka dishalatkannya, baik yang bertempur dipihaknya maupun  yang menentangnya. Dan tatkala keduanya selesai memakamkan Thalhah dan Zubair, ia berdiri melepas keduanya dengan kata;-kata indah dan mulia, yang disudahinya dengan kalimat-kalimat berikut ini: “Sesungguhnya aku amat mengharapkan agar aku bersama Thalhah dan Zubair dan Utsman, termasuk diantara orang-orang yang difirmankan Allah: “Dan kami cabut apa yang bersarang dalam dada mereka dari kebencian sebagai layaknya orang bersaudara dan di atas pelaminan mereka bercengkrama berhadap-hadapan”  
Kemudian disapunya makam mereka dengan pandangan kasih sayang, yang keluar dari hati bersih dan penuh belas kasih seraya berkata: “Kedua telingaku telah mendengar sendiri sabda Rasulullah saw: ”Thalhah dan Zubair menjadi tetanggaku dalam surga”.

 

NETWORKEDBLOGS

MITRA LINK

WIDGEO

    blog-jasri.blogspot.com-Google pagerank,alexa rank,Competitor

TUKAR LINK

SAHABAT

al-Ilmu Naafi' © 2012 | Template By Jasriman Sukri