Kontradiksi Seputar Hadist

Fatwa berikut disalin dari buku "Memahami ayat-ayat dan hadist-hadist kontadiksi", Lajnah Ad-Daimah li Buhuts Al-Ilmiyah wa Al-Ifta', Darul Falah, cetakan pertama. 

Pertanyaan : "Barangsiapa yang membuat sunnah yang baik maka dia akan mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang mengerjakannya hingga hari kiamat". Apakah ini hadist ? Jika ini hadist, apakah Rasulullah pernah meninggalkan sesuatu untuk seseorang hingga dengannya dia membuat sunnah dalam Islam ? Tolong jelaskan masalah ini secara detail. 

Jawaban: Ini adalah hadist shahih dan hadist ini menunjukkan atas disyariatkannya menghidupkan sunnah dan anjuran agar mendakwahkannya serta peringatan agar berhati-hati dari bid'ah dan kejahatan. Karena rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: "Barangsiapa membuat sunnah yang baik dalam Islam, maka dia akan mendapatkan pahalanya sendiri dan pahala orang yang melakukannya sesudahnya, tanpa mengurangi sedikit pun pahala mereka dan barangsiapa membuat sunnah yang buruk dalam Islam, maka dia akan mendapatkan dosanya sendiri dan dosa orang yang melakukan sesudahnya, tanpa mengurangi sedikit pun dari dosa mereka" (Ditakhrij oleh Muslim dalam Shahih-nya). 

Senada dengan hadist ini, Abu Hurairah meriwayatkan dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bahwasanya beliau bersabda: "Barangsiapa menyeru kepada petunjuk maka dia mendapat pahala seperti pahala orang yang mengikutinya tanpa mengurangi sedikit pun pahala mereka dan barangsiapa menyeru kepada kesesatan maka dia dosa seperti dosa orang yang mengikutinya tanpa mengurangi sedikit pun dosa-dosa mereka. Barangsiapa membuat sunnah yang tercela maka dia akan mendapatkan dosanya dan dosa orang yang mengerjakan sesudahnya tanpa mengurangi sedikit pun dari dosa-dosa mereka" (Ditakhrij oleh Muslim dalam Shahih-nya). Dalam hadist lain Abu Hurairah meriwayatkan dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bahwasanya beliau bersabda: "Barangsiapa menyeru kepada petunjuk maka dia mendapat pahala seperti pahala orang yang mengikutinya tanpa mengurangi sedikit pun pahala mereka dan barangsiapa menyeru kepada kesesatan maka dia dosa seperti dosa orang yang mengikutinya tanpa mengurangi sedikit pun dari dosa-dosa mereka" 

Begitu juga hadist Abu Mas'ud Al-Anshari Radhiyallahu Anhu, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: "Barangsiapa menunjukkan kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala pelakunya" (Ditakhrij oleh Muslim dalam Shahih-nya). Makna "membuat sunnah dalam Islam" adalah menghidupkan sunnah, menunjukkan dan menampakkannya yang sebelumnya disembunyikan manusia, lalu dia menyeru kepadanya, menampakkannya dan menjelaskannya, maka dia akan mendapatkan pahala orang yang mengikutinya. Maknanya bukan membuat bid'ah dalam agama, karena Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang dari bid'ah dan berkata, "Setiap bid'ah adalah sesat." Sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam saling membenarkan antara satu dengan yang lain, tidak bertentangan antara satu dengan yang lain menurut kesepakatan ahlul ilmi. Maka diketahui dari sini bahwa maksud hadist tsb adalah menghidupkan sunnah dan menampakkannya. 

Misalnya, ada seorang alim tinggal di suatu tempat yang tidak ada di dalamnya pengajaran Al-Qur'an atau pengajaran Sunnah Nabi, maka dia menghidupkan sunnah ini dengan mendirikan majelis taklim untuk mengajari manusia Al-Qur'an dan As-Sunnah. Atau dia tinggal di suatu negeri yang penduduknya senang mencukur jenggot, lalu dia menyuruh agar memanjangkan jenggot. Dengan begitu dia telah menghidupkan sunnah di negeri yg sebelumnya tidak mengetahuinya shg dia mendapatkan pahala sperti pahala orang yang mendapatkan petunjuk karenanya. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: "Potonglah kumis, panjangkan jenggot dan berbedalah dengan orang-orang musyrik" (Disepakati keshahihannya dari hadist Ibnu Umar). Ketika manusia melihat orang alim itu memanjangkan jenggot dan menyeru manusia agar mereka melakukannya dan mereka mengikutinya, berarti dia telah menghidupkan sunnah, yaitu sunnah yang wajib yang tidak boleh ditinggalkan, karena melaksanakan hadist yang telah disebutkan di atas dan hadist-hadist lain yang semakna dengannya. Maka dia mendapatkan pahala seperti pahal mereka. Atau seorang alim yang tinggal di suatu tempat yang tidak mengetahui kewajiban shalat Jum'at shg mereka tidak pernah melaksanakannya. Lalu dia mengajari mereka shalat dan shalat Jum'at bersama mereka, maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala mereka. 

Begitu juga dalam negeri yang tidak mengetahui shalat witir, lalu dia mengajari mereka tentang shalat witir dan mereka mengikutinya, maka dia mendapatkan pahala seperti yang mereka dapatkan. Masih banyak lagi ibadah-ibadah dan hukum-hukum agama lainnya, lalu dia membuang kebodohan dari sebagian negeri atau kabilah tsb. Orang yang menghidupkannya di antara mereka dan menyebarluaskannya di antara mereka disebut membuat sunnah yang baik dalam islam, sehingga dengan itu dia termasuk orang yang membuat sunnah yang baik dalam Islam. 

Yang dimaksud dengan membuat bid'ah dalam agama adalah bid'ah yang tidak diizinkan oleh Allah. Semua bid'ah adalah sesat karena Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam telah bersabda dalam hadist shahih: "Jauhilah perkara yang baru karena sesungguhnya setiap perkara yang baru adalah bid'ah dan setiap bid'ah adalah sesat". Dalam hadist lain Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: "Barangsiapa yang mengerjakan suatu amal bukan atas perintah kami maka amalan itu ditolak". Dalam lafal lain disebutkan: "Barangsiapa yang membuat sesuatu yang baru dalam urusan kami ini yang bukan merupakan bagian darinya, maka dia ditolak" (Mutaffaq 'Alaih) Dalam sebuah khutbah Jum'at, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: "Amma ba'du; sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad. Sedangkan sejelek-jelek perkara adalah perkara yangbaru dan setiap perkara yang baru (bid'ah) adalah sesat" (Ditakhrij oleh Muslim dalam Shahih-nya). 

Syaikh Abdul Aziz bin Baaz, Majmu' Al-Fatawa, 1, 841-843, bagian kedua artikel Abdullah Ath-Thayyar.

Informasi dari Allah SWT

Artikel Mu'jizat Qur'an & Sunnah Informasi Itu Pasti Berasal Dari Allah (Petikan Kisah 'Umair Bin Wahb) Ketika Umair bersama Sofwan bin Umayyah setelah terluka ketika perang badar, waktu itu Umair adalah salah satu setan dari setan-setan Quraisy dan termasuk diantara orang-orang yang pernah melukai Rasulullah dan para sahabat. Umair tinggal di Mekkah.dan memiliki anak bernama Wahb yang merupakan tawanan perang Badar. Wahb berkata: "Ayahnya (Umair) menceritakan tentang orang-orang yang dibenci dan apa yang mereka alami. Mendengar hal itu, Sofwan –kawan bicaranya- berkata "Demi Allah mereka tidak akan selamat dan sentosa setelah ini". Umair berkata: "Engkau benar, demi Allah seandainyaa bukan karena hutang-hutangku, dan keluargaku yang aku takutkan nasib mereka sepeninggalku, tentulah aku akan datangi Muhammad dan bunuh dia, sebab aku memiliki anak yang sekarang ditawan mereka. Mendengar itu berkatalah Sofwan, "Wahai Umair hutangmu menjadi tanggunganku, aku yang akan membayarnya dan keluargamu menjadi tanggunganku andai engkau mau membunuhnya." Maka berkatalah Umair, "Rahasiakanlah apa yang kita bicarakan ini." Jawab Sofwan "Ya, saya akan merahasiakannya." 

Maka Umair pun pergi menuju Madinah, ia bertemu dengan Umar bin Khaththab dan beberapa sahabatnya yang sedang bercerita tentang kejadian Perang Badar dan bagaimana Allah memuliakan mereka dalam perang tersebut. Ketika Umar bin Khaththab melihat Umair yang sedang menaiki kendaraannya dan sampai di depan pintu masjid dengan pedang terhunus maka Umarpun berkata "Inilah anjing, musuh Allah. Demi Allah, dia tidak datang kesini kecuali dengan niat yang jelek." Maka, masuklah Umar menemui Rasulullah dan berkata; "Wahai Nabiyullah, ini Umair bin Wahb datang kepada kita dengan pedang terhunus. Rasulullah menjawab suruh dia masuk ke sini menemuiku. 

Maka Umarpun menemui Umair seraya memegang tali pedang yang ada di punggung Umair. Lalu Umarpun mengajak menuju Rasulullah. Umar berkata kepada sejumlah orang dari kalangan Anshor, "Masukkanlah Umair ini untuk menemui Rasululah, dudukkan disampingnya, dan hati-hatilah kalian dari orang jelek ini, dia sangat berbahaya." Maka masuklah Umair bersama beberapa sahabat menemui Rasulullah. 

Ketika melihat Umair maka Rasulullah pun bersabda, "Bawa ia kesini, dekatkan ia denganku." Beliau SAW bertanya kepada Umair, "Apa yang mendorongmu datang ke sini wahai Umair? Umairpun menjawab, "Aku datang untuk anakku yang kamu tawan. Berbuat baiklah padanya." Rasul menjawab, "Ada apa kamu datang kemari dengan membawa pedang ?" Umair menjawab, "Semoga Allah menjelekkan pedang-pedang mereka, apakah kalian merasa tidak butuh kepadaku?" Rasulullah bersabda, "Jujurlah kepadaku !! Ada tujuan apa kamu datang ke sini?" Umair ibn Wahb, "Aku tidak datang ke sini kecuali untuk mengatakan itu saja." 

Rasulullah menegaskan, "Bukan itu, tetapi kamu dan Sofwan bin Amayyah telah duduk-duduk di dalam kamar, dan kalian berdua membicarakan tentang orang-orang yang kalian benci dari kalangan Quraisy, kemudian kamu mengatakan andai aku tidak punya hutang dan tanggungan keluarga tentulah aku akan pergi dan membunuh Muhammad." Maka Sofwanpun menanggung seluruh hutangmu dan menanggung seluruh keluargamu dengan syarat engkau membunuhku, maka Allah adalah pengawas antara dirimu dan hal itu." 

Maka berkatalah Umair, "Aku bersaksi bahwa engkau adalah utusan Allah. Sungguh selama ini kami selalu mendustakan semua wahyu dan berita-berita dari langit yang engkau bawa; dan ternyata kejadian yang aku alami bersama Sofwan diketahui dirimu padahal tidak ada yang menyaksikan kejadian itu selain kami berdua. 

Demi Allah tidak ada yang memberikan informasi tentang kejadian itu kepadamu kecuali Allah. Segala puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuknya kepadaku sehingga aku masuk Islam. Rasulullah bersabda, "Ajarilah saudara-saudaramu dengan agama ini, dan bacakanlah kepada mereka Al-Qur`an, dan lepaskanlah anak Umair yang kita tawan itu. " Maka mereka melakukan perintah Nabi ini. 

Wallahu a`lam, dan salawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad SAW. 
Sumber: Min Mu'jizatin Nabiy shallalahu 'alaihi wa sallam karya Syaikh Abdul Aziz Al-Muhammad Al-Salman (Salah seorang murid senior Syaikh Muhammad ibn Shalih Al-Utsaimin)

Hukum Ridha' Terhadap Qadar

Hukum Ridha' Terhadap Qadar Oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin Pertanyaan. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin ditanya : "Bagaimana hukum ridha (rela) kepada Qadar? dan apakah do'a itu bisa menolak Qadha? Jawaban. Ridha pada Qadar hukumnya wajib, karena hal itu termasuk kesempurnaan ridha akan rububiyah Allah. Maka setiap mu'min harus ridha pada Qadha' Allah. Akan tetapi Muqadha (sesuatu yang diqadha') masih perlu dirinci, karena sesuatu yang diqadha berbeda dengan Qadha itu sendiri. Qadha adalah perbuatan Allah, sedangkan sesuatu yang diqadha' adalah sesuatu yang dikenai Qadha'. Maka Qadha' yang merupakan perbuatan Allah harus kita relakan dan dalam kondisi apapun kita tidak boleh membencinya selamanya. 

Adapun sesuatu yang diqadha' terbagi menjadi tiga macam: 
[1] Wajib direlakan 
[2] Haram direlakan. 
[3] Disunnahkan untuk direlakan 

Sebagai contoh, perbuatan maksiyat adalah sesuatu yang diqadha oleh Allah dan ridha pada kemasyiatan hukumnya haram, sekalipun dia terjadi atas Qadha Allah. Maka barangsiapa melihat pada kema'siyatan, maka dia harus rela dari sisi Qadha' yang telah lakukan Allah dan harus mengatakan bahwa Allah Maha Bijaksana dan kalau kebijakan-Nya tidak menentukan ini, maka dia tidak akan pernah terjadi. Adapun dari sisi sesuatu yang diqadha', maka perbuatan tersebut wajib tidak direlakan dan wajib menghilangkan kema'siyatan tersebut dari dirimu sendiri dan orang lain. 

Sebagian dari sesuatu yang diqadha' harus direlakan, seperti kewajiban syar'iyah, karena Allah telah menentukannya secara riil dalam syar'iyah. Maka kita harus merelakannya, baik dari sisi Qadha'nya maupun sesuatu yang diqadha'. 

Bagian ketiga disunnahkan untuk merelakannya dan diwajbkan bersabar karenanya, yaitu berbagai musibah yang terjadi, Maka semua musibah yang terjadi, menurut para ulama, disunnahkan untuk merelakan dan tidak diwajibkan. Akan tetapi wajib bersabar karenanya. Perbedaan antara sabar dan rela adalah bahwa dalam sabar seseorang tidak menginginkan apa yang terjadi, akan tetapi dia tidak mencoba sesuatu yang menyalahi syara' dan menghilangkan kesabaran, sedangkan rela adalah seseorang tidak membenci apa yang terjadi, sehingga terjadinya atau tidak terjadinya baginya sama saja. Inilah perbedaan antara rela dengan sabar. 

Oleh karena itu, para ulama Jumhur mengatakan : "Sesungguhnya sabar itu wajib, sedangkan rela itu disunnahkan". Adapun pertanyaan : "Apakah do'a itu dapat menolak Qadha", maka jawabnya demikian : Sebenarnya do'a merupakan sebab teraihnya sesuatu yang dicari dan dalam kenyataannya, do'a dapat menolak Qadha dan tidak dapat menolaknya sekaligus. Artinya terdapat dua sisi pandang dalam do'a. Sebagai contoh orang sakit terkadang berdo'a kepada Allah (untuk disembuhkan), kemudian sembuh. Maka dalam hal ini, seandainya ia tidak berdo'a, maka dia akan tetap sakit, akan tetapi dengan do'a tersebut dia menjadi sembuh. 

Hanya saja kita dapat mengatakan bahwa Allah telah menetapkan, sembuhnya penyakit tersebut dengan lantaran do'a dan ini telah tertulis/tersurat. Maka do'a tersebut secara lahir dapat menolak Qadar, di mana manusia meyakini bahwa kalau tidak ada do'a tersebut, maka penyakit tersebut akan tetap diderita. Akan tetapi, hakikatnya, do'a tersebut tidak menolak Qadha', karena pada dasarnya do'a tersebut juga telah tertulis (ditakdirkan) dan kesembuhan tersebut akan terjadi dengannya. Inilah Qadar yang sebenarnya telah tertulis di zaman azali. Demikianlah, sehingga segala sesuatu pasti melalui sebab dan sebab tersebut telah dijadikan Allah sebagai sebab teraihnya dan sesuatu itu semua telah tertulis sejak zaman azali sebelum terjadi. 

[Disalin kitab Al-Qadha' wal Qadar edisi Indonesia Tanya Jawab Tentang Qadha dan Qadar, Penulis Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin', terbitan Pustaka At-Tibyan, penerjemah Abu Idris]

Talak Tiga Dalam Satu Lafazh Menurut Para Ulama

Fenomena perceraian sangat marak dewasa ini dan amat memprihatinkan. Kata Talak (cerai) dengan mudah diucapkan dan keluar dari mulut sang suami bahkan dari sang isteri padahal sebenarnya menurut syari’at bukan menjadi ‘hak’-nya, apalagi bila dikaitkan dengan kehidupan kalangan tertentu yang menjadikan kasus-kasus seperti ini yang terjadi pada diri mereka sebagai bahan ‘komersil.’ Selaku umat Islam, kita sangat terpukul karena ini menandakan bahwa sangat sedikit sekali kalangan umat ini yang memahami benar arti sebuah pernikahan dan makna ‘talak’ itu sendiri. 

Terkait dengan masalah talak ini, kita sering mendengar ucapan ‘talak tiga’ dengan begitu ringan keluar dari mulut sang suami apalagi bila dalam kondisi emosi. Ucapan ini keluar tanpa mempertimbangkan syari’at dan implikasinya di mana salah satu pihak yang pasti akan menderita adalah anak (bila telah dikaruniai anak). Manakala sang isteri yang diceraikan bisa saja akan mendapatkan ‘pengganti’ setelah itu, tetapi akankah anak demikian.? Inilah yang perlu dipertimbangkan dengan matang dan secara seksama agar tidak ada penyesalan di kemudian hari. Benar, bahwa talak itu merupakan tindakan terakhir yang disediakan syari’at dalam mengatasi lika-liku rumah tangga apabila memang tidak ada lagi kecocokan, tetapi hendaknya tidak menyerah dengan dalih seperti itu. Perlu ada upaya-upaya dan langkah-langkah guna menjadikan rumah tangga tetap harmonis dan terhindar dari keretakan. 

Pada masa akhir khalifah ‘Umar, tindakan ‘main’ talak tiga begitu trendi sehingga membuat ‘Umar menjalankan ijtihad sekaligus memberikan pelajaran kepada mereka yang dengan seenaknya mengeluarkan ucapan yang berbahaya itu. Nah, dalam kajian kali ini, diketengahkan seputar permasalahan tersebut, semoga bermanfa’at. 

NASKAH HADITS Hadits Pertama:
 عَنِ ابْنِ عَبّاسٍ قَالَ: كَانَ الطّلاَقُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللّهِ صلى الله عليه وسلم وَأَبِي بَكْرٍ وَسَنَتَيْنِ مِنْ خِلاَفَةِ عُمَرَ, طَلاَقُ الثّلاَثِ وَاحِدَةً، فَقَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطّابِ: إِنّ النّاسَ قَدِ اسْتَعْجَلُوا فِي أَمْرٍ قَدْ كَانَتْ لَهُمْ فِيهِ أنَاةٌ, فَلَوْ أَمْضَيْنَاهُ عَلَيْهِمْ فَأَمْضَاهُ عَلَيْهِمْ. (رواه مسلم)
Dari Ibn ‘Abbas, dia berkata, Pada masa Rasulullah SAW, Abu Bakar dan 2 tahun pertama masa kekhilafahan ‘Umar talak tiga (sekaligus dengan satu lafazh) terhitung satu kali talak. Maka berkatalah ‘Umar bin al-Khaththab, “Orang-orang terlalu terburu-buru dalam urusan (menalak tiga sekaligus dalam satu lafazh) mereka yang dulu masih ada tempo waktunya. Andaikatan kami jalankan apa yang mereka lakukan dengan terburu-buru itu (bahwa talak tiga dalam satu kata (lafazh) itu jatuh talak tiga) niscaya hal itu dapat mencegah dilakukannya talak secara berturut-turut (seperti yang mereka lakukan itu).” Lalu ia memberlakukan hal itu terhadap mereka. (HR.Muslim) 
Hadits Ke-dua: 
 عَنْ مَحْمُود بْنَ لَبِيدٍ قَالَ: أُخْبِرَ رَسُولُ اللّهِ صلى الله عليه وسلم عَنْ رَجُلٍ طَلّقَ امْرَأَتَهُ ثَلاَثَ تَطْلِيقَاتٍ جَمِيعا فَقَامَ غَضْبَانا ثُمّ قَالَ: «أَيُلْعَبُ بِكِتَابِ اللّهِ وَأَنَا بَيْنَ أَظْهُرِكُمْ؟» حَتّى قَامَ رَجُلٌ وَقَالَ: يَا رَسُولَ اللّهِ أَلاَ أَقْتلُهُ. (رواه النسائي ورواته موثقون) 
Dari Mahmud bin Labid, ia berkata, saat Rasulullah SAW diberitahu mengenai seorang laki-laki yang menalak isterinya dengan talak tiga sekaligus, maka berdirilah ia dalam kondisi marah, kemudian berkata, “Apakah ia ingin bermain-main dengan Kitabullah padahal aku masih ada di tengah kalian.?” Ketika itu ada seorang laki-laki berdiri seraya berkata, “Wahai Rasulullah, bolehkah aku membunuhnya.?” (HR.an-Nasa’iy, dan para periwayatnya adalah para periwayat Tsiqat) Kualitas hadits kedua ini adalah shahih. 
Hadits Ke-tiga:
 عن ابنِ عَبّاسٍ قال: طَلّقَ أبُو رُكَانَةَ أُمّ رُكَانَةَ فقال له رسول الله صلى الله عليه وسلم : رَاجِع امْرَأَتَكَ، فقال: إِنّي طَلّقْتُهَا ثَلاَثاً، قال: قَدْ عَلِمْتُ رَاجِعْها. رواه أبو داود 
Dari Ibn ‘Abbas, ia berkata, Abu Rukanah telah menalak Ummu Rukanah, lalu Rasulullah SAW berkata kepadanya, “Rujuklah isterimu itu.” Lalu ia menjawab, “Sudah aku talak tiga ia.” Beliau berkata, “Aku sudah tahu, rujuklah ia.” (HR.Abu Daud) Dalam riwayat Ahmad terdapat teks: “Abu Rukanah menalak isterinya dengan talak tiga dalam satu majlis (sekaligus), maka ia pun menyesali kejadian itu (bersedih atasnya), maka Rasulullah SAW bersabda kepadanya, “Ia hanya (terhitung) satu kali.” Tetapi dalam sanad ini terdapat Ibn Ishaq yang perlu diberi catatan. Abu Daud meriwayatkan dari jalur lainnya dengan riwayat yang lebih baik: “Bahwa Abu Rukanah telah menalak isterinya, Suhaimah dengan pasti (sekaligus dan langsung talak tiga-red), lalu ia memberitahu Nabi SAW mengenai hal itu, lantas beliau berkata, “Demi Allah, kamu tidak menginginkan kecuali hanya satu kali saja.?” Maka, Rasululullah SAW mengembalikan isterinya kepadanya. 

Kualitas Hadits Para ulama berbeda pendapat mengenai hadits ini; ada yang menilainya shahih dan menjadikannya sebagai hujjah dan ada pula yang menilainya lemah (Dla’if) dan berhujjah dengan hadits yang bertentangan dengannya. Dari perbedaan ini timbul perbedaan para ulama mengenai hukum masalah yang ada di dalam hadits ini. Bagi para ulama yang menilainya shahih, mereka berargumentasi: Abu Daud berkata, “Hadits ini merupakan hadits yang paling shahih dari hadits Ibn Juraij yang didalamnya berbunyi, ‘Sesungguhnya Rukanah telah menalak isterinya dengan talak tiga (sekaligus).’” 

Ibn Majah berkata, “Aku mendengar ath-Thanaafisi berkata, ‘Alangkah mulianya hadits ini.’ Ini menjelaskan betapa sanadnya begitu mulia dan banyak faedahnya.” Sementara para ulama yang menilainya lemah, termasuk di antaranya Ibn al-Qayyim berargumentasi: hadits tersebut dinilai lemah oleh Imam Ahmad. Syaikh kami (maksudnya, Ibn Taimiyyah-red) berkata, ‘Para ulama tokoh dan besar yang sangat mengenali ‘illat-‘illat hadits seperti Imam Ahmad, al-Bukhary, Ibn ‘Uyainah dan ulama lainnya menilai lemah hadits Rukanah tersebut. Demikian juga, Ibn Hazm. Mereka mengetakan, ‘Para periwayatnya adalah sekelompok orang yang masih anonim (tidak diketahui), tidak dikenal keadilan dan kekuatan hafalan mereka. Imam Ahmad berkata, ‘Hadits Rukanah tidak valid.’” Imam at-Turmudzy berkata, “Hadits ini tidak dikenal kecuali dari jalur ini saja. Aku pernah menanyakan kepada al-Bukhari mengenainya, maka ia berkata, ‘Itu hadits Muththarib.’ (bagian dari hadits Dla’if/lemah-red). 

Syaikh al-Albani berkata, “Alhasil, hadits tersebut Dla’if sedangkan hadits Ibn ‘Abbas lainnya yang bertentangan dengan makna hadits tersebut lebih kuat darinya, wallahu a’lam.” Tarjamah (Biografi) Singkat Abu Rukanah Dan Ummu Rukanah Sesuai dengan yang dikenal dalam buku-buku Taraajum, buku hadits dan lainnya, bahwa Abu Rukanah adalah Rukanah bin ‘Abdu Yazid bin Hasyim bin la-Muththalib, al-Qurasyi al-Muththalibi. Syaikh al-Bassam, pengarang buku syarah Bulughul Maram yang kita bahas ini mengomentari: “Demikian tertera namanya (Abu Rukanah) seperti yang saya dapatkan di dalam kitab Bulughul Maram…Saya juga merujuk beberapa kitab induk, termasuk di antaranya kitab al-Ishabah karya pengarang sendiri (yakni pengarang bulugh al-Maram, Ibn Hajar-red), saya hanya menemukan kata ‘Rukanah’ (tanpa Abu-red). Menurut saya adanya tambahan “Abu” ini hanya kerjaan Nussaakh (para penyalin tulisan dari teks asli ke buku berikutnya, dalam istilah sekarang: tukang Copy –red) Sedangkan Suhaimah adalah Suhaimah binti ‘Umair al-Muzainah dari Bani Muzainah, sebuah kabilah Mudlar, sekarang bersekutu dengan kabilah Harb dan mendiami bagian barat kawasan al-Qashim (Arab Saudi-red). 

PESAN-PESAN HADITS 
1. Hadits pertama menginformasikan bahwa tiga kali talak dengan satu kalimat (lafazh) tidak dihitung (dinilai) selain sebagai satu kali talak saja; jika ia bukan merupakan talak yang ketiga (terakhir), maka masih boleh rujuk. Hadits ini merupakan rujukan inti bagi pendapat yang mengatakan demikian. 
2. Hadits ke-dua menunjukkan bahwa tiga kali talak yang tidak diiringi rujuk dan nikah (langsung talak tiga sekaligus-red), maka ia merupakan talak bid’ah yang diharamkan. 
3. Bahwa bermain-main dengan hukum-hukum Allah dan melanggar aturan-Nya termasuk dosa besar sebab Nabi SAW tidak marah kecuali terhadap kemaksiatan yang besar. 
4. Bermain-main dengan Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya adalah haram sekali pun dilakukan sepeninggal Rasulullah SAW. Beliau mengucapkan kata-kata seperti itu tidak lain karena merasa aneh dengan sangat cepatnya perubahan yang melanda berbagai perkara.
5. Indikasi dua riwayat Abu Daud dan Ahmad pada hadits ketiga adalah sama dengan hadits pertama dari sisi penilaian bahwa tiga kali talak itu terhitung satu kali talak saja dan bahwa seorang suami yang menalak isterinya boleh rujuk kepada isterinya selama talak itu bukan merupakan akhir dari angka talak yang masih dimilikinya (talak ini bukan terhitung yang ketiga kalinya dari talak yang pernah dilakukannya). 
6. Sementara riwayat kedua dari Abu Daud di atas menunjukkan bahwa talak tiga sekaligus berlaku sesuai dengan niat orang yang menalak; jika ia meniatkan tiga, maka ia jadi tiga dan jika ia meniatkan hanya satu, maka ia jadi satu, yang memungkinkan untuk rujuk. 
7. Riwayat talak tiga sekaligus dalam hadits Rukanah merupakan dalil Jumhur bahwa tiga talak itu merupakan ucapan talak Ba’in Bainuunah Kubro yang tidak bisa lagi dirujuk kecuali setelah si isteri yang ditalak itu menikah lagi dengan laki-laki lain (lalu bercerai lagi-red.). 

Perbedaan Pendapat Para Ulama Para ulama berbeda pendapat mengenai orang yang menalak dengan talak tiga sekaligus atau mengucapkannya dengan tanpa diselingi rujuk dan nikah. Artinya, apakah talak tiga itu harus dikomitmeninya sehingga isterinya menjadi tidak halal lagi baginya kecuali setelah ia menikah lagi dengan laki-laki lain (lalu bercerai) dan menjalani masa ‘iddah darinya? Atau kah ia hanya terhitung satu kali talak saja sehingga ia boleh rujuk dengan isterinya selama masih dalam ‘iddah, lalu setelah ‘iddah ia melakukan ‘aqad baru sekali pun isterinya tersebut belum lagi menikah dengan laki-laki lain.? Masalah ini menjadi ajang perdebatan panjang para ulama, bahkan gara-gara mengatakan boleh rujuk (dengan talak tiga sekaligus karena mengganggapnya terhitung satu kali talak-red) ada beberapa ulama yang disiksa, di antaranya Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah dan para pengikutnya. 

Ringkasan Dari Perselisihan Dan Perdebatan Panjang Itu Adalah: 
1. Jumhur Ulama, di antaranya empat imam madzhab, jumhur shahabat dan tabi’in berpendapat bahwa tiga talak dengan satu kata (lafazh) adalah berlaku bila seorang suami berkata, “Kamu saya talak (tiga kali)!” dan semisalnya atau dengan beberapa kata (kamu saya talak, kemudian mengatakan lagi, kamu saya talak, kemudian mengatakan lagi, kamu saya talak) sekali pun sebelumnya belum terjadi rujuk dan nikah. Dalilnya. Hadits Rukanah bin ‘Abdullah bahwasanya ia telah menalak isterinya secara pasti (talak tiga sekaligus), lalu ia memberitahukan hal itu kepada Nabi SAW, lantas beliau berkata, “Demi Allah, kamu tidak menginginkan kecuali hanya satu kali saja.?” Hadits ini dikeluarkan oleh asy-Syafi’i, Abu Daud, at-Turmudzy, Ibn Hibban (dia menilainya shahih) dan al-Hakim. 

Sisi Pendalilan Di dalam hadits tersebut, Rasulullah meminta kepada suami yang menceraikan itu agar bersumpah bahwa ia tidak menginginkan dari ucapannya “putus” (talak tiga) tersebut kecuali hanya satu kali saja. Ini menandakan bahwa seandainya ia (suami) menghendaki lebih banyak dari itu (lebih dari satu kali) niscaya terjadilah apa yang diinginkannya. b. Amalan para shahabat, di antaranya ‘Umar bin al-Khaththab RA yang menilai talak tiga dalam satu kata (lafazh) berlaku tiga seperti yang diucapkan suami yang menalak. Tentunya, mereka cukup sebagai panutan. Selain dalil di atas, masih banyak lagi dalil yang dikemukakan pendapat ini namun apa yang kami sebutkan tersebut merupakan dalil yang lebih jelas dan secara terang-terangan. 

2. Sekelompok ulama berpendapat tiga talak dalam satu kata (lafazh), atau tiga talak dalam beberapa kata yang tidak diiringi rujuk dan nikah, tidak jatuh kecuali hanya satu kali saja (satu talak). Pendapat ini didukung oleh riwayat dari beberapa shahabat, tabi’in dan para tokoh madzhab. Dari kalangan shahabat terdapat Abu Musa al-Asy’ari, Ibnu ‘Abbas, Ibn Mas’ud, ‘Ali, ‘Abdurrahman bin ‘Auf dan az-Zubair bin al-‘Awwam. Dari kalangan tabi’in terdapat Thawus, ‘Atha’, Jabir bin Zaid dan mayoritas pengikut Ibn ‘Abbas, Abdullah bin Musa dan Muhammad bin Ishaq. 

Dan dari kalangan para tokoh madzhab terdapat Daud azh-Zhahiri dan kebanyakan sahabatnya, sebagian sahabat Abu Hanifah, sebagian sahabat Imam Malik, sebagian sahabat Imam Ahmad seperti al-Majd bin ‘Abdussalam bin Taimiyyah yang memfatwakan hal itu secara sembunyi-sembunyi dan cucunya, Syaikhul Islam, Ibn Taimiyyah yang memfatwakannya secara terang-terangan dengan memfatwakannya di majlis-majlisnya serta kebanyakan pengikutnya, di antaranya Ibn al-Qayyim yang membela mati-matian pendapat ini di dalam kitabnya al-Hadyu dan Ighaatsah al-Lahafaan. Di dalam kedua kitabnya tersebut, beliau memaparkannya secara panjang lebar, menukil berbagai nash-nash dan membantah pendapat para penentangnya dengan bantahan yang cukup dan memuaskan. 

Dalil Dalil pendapat ini terdiri dari nash-nash dan qiyas. Dari nash, di antaranya: Hadits yang diriwayatkan Muslim, bahwasanya Abu ash-Shahba’ berkata kepada Ibn ‘Abbas, “Tahukah kamu bahwa yang tiga itu dulu dijadikan satu talak saja pada masa Rasulullah SAW, Abu Bakar dan permulaan masa ‘Umar.? Ia menjawab, “Ya.” Di dalam lafazh yang lain, “dikembalikan kepada satu talak.?”, ia mejawab, “Ya.” Ini merupakan nash yang shahih dan sangat jelas sekali, tidak bisa ditakwil-takwil atau pun dirubah. Sedangkan dari Qiyas: Mengumpulkan tiga sekaligus adalah diharamkan dan merupakan bid’ah sebab Nabi SAW bersabda, “Barangsiapa yang melakukan suatu amalan (dalam agama) yang bukan berasal dari kami, maka ia tertolak.” Jadi, menjatuhkan (talak) tiga sekaligus bukan termasuk perkara yang berasal dari Rasulullah SAW sehingga ia tertolak. 

Bantahan Terhadap Pendapat Pertama Pendapat ke-dua ini membantah dalil-dalil pendapat pertama sbb: Mengenai hadits Rukanah; di dalam sebagian lafazhnya terdapat, “Ia menalaknya tiga kali.” Dan di dalam lafazh yang lain, “Satu kali.” Sementara di dalam riwayat lain lagi terdapat lafazh, “al-Battah.” (putus). Oleh karena itu, al-Bukhari berkata mengenainya, “Ia hadits Muththarib.” (merupakan jenis hadits Dla’if/lemah-red) Imam Ahmad mengatakan, “semua jalur periwayatannya lemah. 

Sebagian mereka (ulama) mengatakan, di dalam sanadnya terdapat periwayat yang tidak dikenal (majhul), di dalamnya terdapat orang yang lemah dan ditinggalkan (periwayatannya tidak digubris).” Syaikhul Islam, Ibn Taimiyyah berkata, “Kualitas hadits Rukanah menurut para imam hadits, lemah. Dinilai lemah oleh Ahmad, al-Bukhari, Abu ‘Ubaid dan Ibn Hazm sebab para periwayatnya bukanlah orang-orang yang dikenal sebagai orang-orang yang adil dan kuat hafalannya (Dhabith).” 

Sedangkan hadits ‘Aisyah RHA tidak tepat untuk dijadikan dasar berdalil sebab bisa jadi yang dimaksud dengan tiga tersebut adalah urutan terakhir bagi seorang suami yang manalak, dari tiga talak yang dimilikinya. Manakala ada kemungkinan seperti itu, maka berdalil dengannya pun menjadi batal. Hadits itu masih bersifat global (mujmal) sehingga dapat diarahkan kepada hadits Ibn ‘Abbas yang sudah dijelaskan (mubayyan) sebagaimana yang berlaku dalam ilmu ushul fiqih. 

Adapun berdalil dengan amalan para shahabat, maka perlu dipertanyakan; siapa di antara mereka yang patut dan lebih utama untuk diikuti? Kami katakan: bahwa jumlah mereka itu (para shahabat) lebih dari ratusan ribu. Bilangan orang yang banyak ini di mana orang nomor satu mereka adalah nabi mereka sendiri, yakni Rasulullah SAW menilai tiga talak tersebut sebagai jatuh satu kali. Hingga akhir hayat Rasulullah, kondisinya tetap seperti itu; khalifah beliau, Abu Bakar ash-Shiddiq RA memberlakukan hal itu hingga wafat, lalu ia digantikan khalifah ‘Umar RA. Di awal pemerintahannya, kondisi tersebut pun masih berlaku sebagai yang berlaku pada masa Rasulullah SAW. Setelah itu lah baru tiga talak itu dijadikan tiga seperti angkanya sebagaimana telah kami jelaskan sebabnya. Jadi, mayoritas shahabat yang wafat sebelum kekhalifahan ‘Umar tetap menjalankan dan memberlakukan tiga talak itu dianggap satu kali saja. 

Dengan begitu, kita ketahui bahwa berdalil dengan amalan para shahabat RA telah dibatalkan dengan semi ijma’ mereka (para shahabat) pada masa Abu Bakar ash-Shiddiq RA. Tentunya, ‘Umar bin al-Khaththab amat jauh dari melakukan suatu amalan yang bertentangan dengan amalan yang pernah dilakukan pada masa Rasulullah SAW. Yang ia lakukan, bahwa ia melihat banyak orang yang terburu-buru dan sering sekali melakukan talak tiga padahal ini merupakan perbuatan bid’ah yang diharamkan. Karena itu, ia melihat perlunya memberikan pelajaran atas ucapan mereka tersebut sekaligus sebagai sanksi atas dosa yang mereka lakukan. 

Demikian pula, atas tindakan mereka yang sengaja ingin menyulitkan diri sendiri padahal sudah mendapat kelapangan dan toleransi yang tinggi. Apa yang dilakukan ‘Umar ini semata adalah sebuah ijtihad layaknya ijtihad yang dilakukan para ulama tokoh di mana bisa berbeda seiring dengan perbedaan zaman dan tidak akan tetap sebagai sebuah produk syari’at yang mengikat, yang tidak dapat berubah. Yang tetap dan mengikat itu hanya syari’at pokok dari masalah ini (masalah talak-red). 

Syaikhul Islam, Ibn Taimiyyah RAH berkata, “Jika ia (suami) menalaknya (isterinya) dengan talak tiga dalam masa suci baik satu kata atau beberapa kata seperti ‘Kamu ditalak, kamu ditalak, kamu ditalak’ atau ‘kamu ditalak’ kemudian berkata lagi, ‘kamu ditalak’, kemudian berkata lagi, ‘kamu ditalak’, menurut para ulama baik Salaf mau pun khalaf terdapat tiga pendapat dalam hal ini, baik wanita yang ditalak itu sudah disetubuhi mau pun belum: Pertama, Bahwa hal itu merupakan talak yang dibolehkan dan mengikat; ini adalah pendapat asy-Syafi’i dan Ahmad dalam satu riwayat lamanya (dipilih oleh al-Kharqy) Ke-dua, Bahwa hal itu merupakan talak yang diharamkan dan mengikat; ini adalah pendapat Malik, Abu Hanifah dan Ahmad (yang dipilih oleh kebanyakan sahabatnya). Pendapat ini juga dinukil dari kebanyakan ulama Salaf dan Khalaf dari kalangan para shahabat dan Tabi’in. Ke-tiga, Bahwa ia merupakan talak yang diharamkan dan hanya berlaku satu kali talak saja; ini pendapat yang dinukil dari sekelompok ulama Salaf dan Khalaf dari kalangan para shahabat. Pendapat ini juga diambil kebanyakan Tabi’in dan generasi setelah mereka. Juga, merupakan pendapat sebagian sahabat Abu Hanifah, Malik dan Ahmad. Tarjih Pendapat ke-tiga inilah yang didukung oleh Kitabullah dan Sunnah Rasulullah SAW. 

Di dalam Kitabullah atau pun as-Sunnah tidak terdapat hal yang mengharuskan berlakunya talak tiga bagi orang yang menjatuhkannya sekaligus baik dalam satu kata atau beberapa kata tanpa diiringi dengan rujuk atau pun akad. Bahkan, di dalam Kitabullah dan as-Sunnah keharusan itu hanya berlaku bagi suami yang menalak hal yang dibolehkan Allah dan Rasul-Nya. Ini didukung oleh Qiyas dan penilaian dengan seluruh prinsip-prinsip syari’at. Tidak terjadi pertentangan di kalangan kaum Muslimin bahwa Rasulullah SAW adalah orang yang terjaga dari kesalahan (ma’shum) dalam apa yang disampaikannya dari Allah (wahyu). Beliau ma’shum dalam hal yang disyari’atkannya kepada umatnya menurut ijma’ kaum Muslimin. Demikian pula, umat Islam terjaga dari berkumpul di dalam kesesatan. 

Ada pun masalah ‘bersumpah dengan talak’, Ibn Taimiyyah berkata, “Perbedaan antara talak dan bersumpah dengannya amat kentara, juga antara nadzar dan bersumpah dengan nadzar. Bila seseorang meminta hajat kepada Allah seraya berkata, ‘Jika Allah menyembuhkan penyakitku, melunasi hutangku atau menyelamatkanku dari kesulitan ini, maka aku bersumpah demi Allah akan bersedekah sebanyak seribu dirham, atau berpuasa selama sebulan atau membebaskan budak.’ Ini adalah mengaitkan nadzar (mensyaratkannya) di mana wajib menepatinya berdasarkan Kitabullah, as-Sunnah dan Ijma’. 

Bila seseorang mengaitkan (mensyaratkan) nadzar dalam redaksi sumpah, dengan tujuan untuk menganjurkan atau melarang, seperti “Jika aku bepergian bersama kalian, atau jika aku mengawini si fulan, maka aku akan berhaji, atau hartaku akan aku sedekahkan’; kondisi orang tersebut menurut para shahabat dan jumhur ulama adalah sebagai seorang yang bersumpah dengan nadzar bukan hanya sebagai orang yang bernadzar. Bila ia tidak menepati apa yang telah dikomitmeninya, maka boleh ia menggantikannya dengan kafarat (tebusan) sumpah. WALLAHU A’LAM 

KEPUTUSAN MAJELIS KIBAR ULAMA (DEWAN ULAMA-ULAMA BESAR) Mengenai Masalah Talak Tiga Sekaligus (Dengan satu lafazh) No.18, tanggal 12-11-1393 H Majelis Hai’ah Kibar ulama mengatakan: Pembahasan masalah talak tiga dengan satu lafazh. Setelah melakukan pengkajian, urun rembug dan pemaparan pendapat-pendapat yang berbicara tentang hal itu serta mendiskusikan setiap pendapat tersebut; dengan mayoritas suara, majelis memilih pendapat yang menyatakan jatuhnya talak tiga dengan satu lafazh sebagai talak tiga. 

Ada pun para anggota yang berbeda pendapat mengenai hal ini ada 5 orang, yaitu: 
1. Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz 
2. Syaikh ‘Abdurrazzaq ‘Afifi 
3. Syaikh ‘Abdullah Khayyath 
4. Syaikh Rasyid bin Hanin 
5. Syaikh Muhammad bin Jubair 
Mereka berlima memiliki pandangan lain, redaksinya sebagai berikut: Alhamdulillah, shalawat dan salam atas Rasul-Nya dan keluarga besarnya, wa ba’du: Kami memandang bahwa talak tiga dengan satu lafazh berlaku hanya satu kali talak saja. (masing-masing dari kedua belah pihak ini mengemukakan dalil-dalil yang mendukung pandangan-pandangan mereka) 

(SUMBER: Tawdhiih al-Ahkam Min Buluugh al-Maraam karya Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman al-Bassam, Jld.V, hal.14-21)

SMK Integral Hidayatullah Marisa

Smk Integral Hidayatullah yang berdirikan pada tahun 2010 memiliki 2 jurusan yakni rekayasa perangkat lunak (RPL) dan Multimedia (MM). Sistem Pendidikan yang ada di smk integral berbeda dengan sistem pendidikan yang biasa ditemukan di sekolah pada umumnya karena sistem pendidikan di hidayatullah memisahkan antara putri dan putri guna menjaga syariat islam untuk tidak bercampur antara laki-laki dan wanita yang bukan mahram. 

Sekolah yang beralamatkan Jl. Pelabuhan no.1-A memiliki jumlah siswa angkatan pertama sebanyak 19 siswa yang semuanya jurusan RPL karena awalnya hanya ada RPL, setahun kemudian baru dibuka jurusan multimedia. Memilih sekolah adalah salah satu lagkah awal untuk menentukan masa depan. Sehingga haruslah mengetahui mengenai sekolah yang akan dipilih. Kompetensi apa yang dimiliki oleh siswa jika telah lulus dari sekolah tersebut? Dimana mereka bisa mengaplikasikan ilmu yang telah didapat dari sekolah? 

Di bawah ini adalah ruang lingkup pekerjaan bagi lulusan SMK Integral Hidayatullah: 



RUANG LINGKUP PEKERJAAN JURUSAN MULTIMEDIA 
No.
Dunia Usaha/Industri
Lingkup Pekerjaan
1.
Pengembang Web
(Web Developement)
» Pembuat Web
» Pemelihara Web
2.
Pengembang Multimedia
(Multimedia Development)
» Pembuat Multimedia
» Pemelihara Multimedia
3.
Pengembang Permainan
(Game Developement)
» Pembuat Permainan (Games)
» Pembuat Media Simulasi (Simulator)
4.
Rumah Produksi Sinema/ Film
(Production House)
» Pembuat Video Clip
» Penyunting Video
5.
Industri Media dan Periklanan
(Media and Advertising)
» Pembuat Animasi
» Pembuat Media Informasi

RUANG LINGKUP PEKERJAAN JURUSAN REKAYASA PERANGKAT LUNAK
No.
Dunia Usaha/Industri
Lingkup Pekerjaan
1.
Software House
» Operator software aplikasi spesifik
»
Pelaksana pemrograman software aplikasi spesifik
2.
Penyelenggara Jasa Internet
» Operator software aplikasi spesifik
»
Maintainer software aplikasi spesifik
3.
Perkantoran yang menggunakan peralatan komputer
» Operator software aplikasi spesifik
»
Maintainer software aplikasi spesifik
 4.
Aneka industri yang berbasis peralatan komputer pada skala industri kecil, menengah dan besar
» Operator software aplikasi spesifik
»
Maintainer software aplikasi spesifik
» Pelaksana pemrograman software aplikasi spesifik
5.
Wiraswasta
» Pelaksana pemrograman software aplikasi spesifik
»
Maintainer software aplikasi spesifik

 

Hukum Membaca al-Qur'an Secara Berjamaah

Hukum Membaca Al-Qur'an Bersama-Sama Penulis Abu Anas Ali bin Husain Abu Luz. Membaca Al-Qur'an merupakan ibadah dan merupakan salah satu sarana yang paling utama untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Pada dasarnya memvaca Al-Qur'an haruslah dengan tatacara sebagaimana Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mencontohkannya bersama para sahabat beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tidak ada satupun riwayat dari beliau dan para sahabatnya bahwa mereka membacanya dengan cara bersama-sama denga satu suara. Akan tetapi mereka membacanya sendiri-sendiri, atau salah seorang membaca dan orang lain yang hadir mendengarkannya. 

Telah diriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda. "Artinya : Hendaknya kalian berpegang teguh pada sunnahku dan sunnah para Al-khulafa'ur Rasyidin setelahku" [Diriwayatkan oleh Abu Daud no 407 dalam kitab Sunnah, bab Fii Luzuumis Sunnah ; Ibnu Majah no 42 dalam Al-Muqaddimah, bab Ittiba'ul Khulafa'ir Rasyidinal Mahdiyyin, dari hadits Al-Irbadh Radhiyallahu anhu, ... dst] 

Sabda beliau lainnya. "Artinya : Barangsiapa mengada-ngadakan dalam perkara kami ini (perkara agama) yang tidak berasal darinya, maka dia itu tertolak" [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no, 2697 dalam Al-Shulh bab 'Idza Isththalahu 'ala Shulhin Juur Fash Shulh Mardud' dan Muslim no 1718 dalam kitab Al-Uqdhiyah bab 'Naqdhul Ahkamil Bathilan wa Raddu Muhdatsatil Umur' dari hadits Aisyah Radhiyallahu 'anha] Dalam riwayat lain disebutkan. "Artinya : Barangsiapa melaksanakan suatu amalan yang tidak ada perintah kami maka amalan tersebut tertolak" [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1718 jilid 18, dalam kitab Al-Uqdhiyah bab Maqdhul Ahkamil Bathilan wa Raddu Muhdatsatil Umu' dari hadits Aisyah Radhiyallahu 'anha] 

Diriwayatkan pula dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau memerintahkan kepada Abdullah bin Mas'ud Radhiyallahu 'anhu untuk membacakan kepadanya Al-Qur'an. Ia berkata kepada beliau,"Wahai Rasulullah, apakah aku akan membacakan Al-Qur'an di hadapanmu sedangkan Al-Qur'an ini diturunkan kepadamu?" Beliau menjawab : "Saya senang mendengarkannya dari orang lain". [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 5050, dalam Fadhailul Qur'an, bab 'Barangsiapa mendengarkan Al-Qur'an dari orang selainnya' dari hadits Abdullah bin Mas'ud, .... dst] 

Jika yang dimaksudkan adalah bahwasanya mereka membacanya dengan satu suara dengan 'waqaf' dan berhenti yang sama, maka ini tidaklah disyariatkan. Paling tidak hukumnya makruh, karena tidak ada riwayat dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam maupun dari para sahabat beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Namun apabila bertujuan untuk kegiatan belajar dan mengajar, maka saya berharap hal tersebut tidak apa-apa. 

Adapun apabila yang dimaksudkan adalah mereka berkumpul untuk membaca Al-Qur'an dengan tujuan untuk menghafalnya, atau mempelajarinya, dan salah seorang membaca sedang yang lainnya mendengarkannya, atau mereka masing-masing membaca sendiri-sendiri dengan tidak menyamai suara orang lain, maka ini disyariatkan, berdasarkan riwayat dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam beliau bersabda. "Artinya : Apabila suatu kaum berkumpul di salah satu rumah Allah (masjid) sambil membaca Al-Qur'an dan saling bertadarus bersama-sama, niscaya akan turun ketenangan atas mereka, rahmat Allah akan meliputi mereka, para malaikat akan melindungi mereka dan Allah menyebut mereka kepada makhluk-mahkluk yang ada di sisiNya" [Bagian dari hadits yang diriwayatkan oleh Muslim no. 2699 dalam kitab Dzikir dan Do'a, bab 'Fadhlul Ijtima 'Ala Tilawatil Qur'an wa 'Aladz Dzikir dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu. 

Lihat juga Fatawa Lajnah Da'imah no. 3302] [Disalin dari kitab Bida'u An-Naasi fil Al-Qur'an, edisi Indonesia Penyimpangan Terhadap Al-Qur'an hal 8-12, Darul Haq]

Dimanakah Allah SWT Tinggal atau Berada?

Dalam sebuah siaran radio ditampilakan kisah dengan menggunakan kata-kata:”Seorang anak bertanya tentang Allah kepada ayahnya,maka sang ayah menjawab:”Allah itu ada dimana-mana.”Bagaimana pandangan hukum agama yterhadap jawaban yang menggunakan kalimat semacam ini? 

Jawaban yang benar adalah yang di-ikuti oleh Ahli Sunnah wal Jama’ah,yaitu Allah itu ada di langit diatas Arsy, diatas semua mahlukNya. Akan tetapi ilmuNya ada dimana-mana (meliputi segala sesuatu). Hal ini sebagaimana disebutkan didalam beberapa ayat Al Qur’an, hadits-hadits Nabi Shalallahu alaihi wa sallam, ijma’ dari pendahulu umat ini. 

Sebgaimana contoh adalah firman Allah: Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas Arasy [Surat Al A’raf:54] 
Didalam Al Qur’an ayat ini tersebut pada 6 tempat. Yang dimaksud dengan BERSEMAYAM menurut Ahli Sunnah ialah pada ketinggian atau berada diatas Arsy sesuai dengan keagungan Allah. Tidak ada yang dapat mengetahui BAGAIMANA bersemayamnya itu, seperti dikatakan oleh Imam Malik ketika beliau ditanya orang tentang hal ini. Beliau menjawab: “Kata bersemayam itu telah kita pahami. Akan tetapi, bagaimana caranya tidak kita ketahui. Mengimana hal ini adalah wajib, tetapi mempersoalkannya adalah bid’ah.” Yang beliau maksudkan dengan mempersoalkannya adalah bid’ah yakni mempersoalkan CARA Allah bersemayam diatas Arsy. Pengertian ini beliau peroleh dari gurunya ,Syaikh Rabi’ah bin Abdurrahman yang bersumber dari riawayat Ummu Salamah radhiallahu anha.

Hal ini merupakan pendapat semua Ahli Sunnah yang bersumber dari shahabat Nabi Shalallahu alaihi wa sallam dan para tokoh Islam sesudahnya. Allah telah menerangkan pada beberapa ayat lainnya bahwa Dia dilangit dan Dia berada diatas, seperti dalam firmanNya: Kepada-Nya lah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya [Surat Faathir:10] 
…Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. [Al Baqarah:255] 
Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu berguncang?, Atau apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan mengirimkan badai yang berbatu. Maka kelak kamu akan mengetahui bagaimana (akibat mendustakan) peringatan-Ku [Surat Al Mulk:16-17] 

Banyak ayat-ayat Al Qur’an yang dengan jelas memuat penegasan bahwa Allah itu ada di langit, Dia berada diatas. Hal ini sejalan dengan apa yang dimaksud oleh ayat-ayat yang menggunakan kata-kata bersamayam.  

Apabila seseorang ditanya :”Allah dimana?” hendaklah ia menjawab:”Di langit,” seperti dikemukakan oleh seorang (budak) perempuan yang ditanya oleh Nabi Shalallahu alaihi wa sallam :”Dimana Allah?” jawabnya:”Di langit.” Adapun orang yang menjawab dengan kata-kata:” Allah itu ada,” maka jawaban ini sangat samar dan menyesatkan. Orang yang mengatakan bahwa Allah itu ada dimana-mana dengan pengertian dzat Allah ada dimana-mana, ia telah mendustakan keterangan-keterangan agama, bahwa dalil-dalil wahyu dan akal serta fitrah. Allah berada diatas segala mahluk. Dia berada diatas semua langit, bersemayam diatas Arsy. 
Syaikh Ibnu Utsaimin Majmu’ Fatawaa wa Rasaail ,juz 1 halaman 132-133

 

NETWORKEDBLOGS

MITRA LINK

WIDGEO

    blog-jasri.blogspot.com-Google pagerank,alexa rank,Competitor

TUKAR LINK

SAHABAT

al-Ilmu Naafi' © 2012 | Template By Jasriman Sukri