Pertanyaan :
Akhir-akhir ini masyarakat membicarakan uang
yang diberikan kepada pegawai negri di luar gaji resmi, atau lebih sering
disebut dengan grafitikasi. Dalam undang-undang negara pegawai yang menerima
gartifikasi dinyatakan bersalah dan dikatagorikan menerima suap kecuali kalau
dilaporkan kepada lembaga KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi ). Bagaimana
pandangan Islam terhadap gratifikasi atau hadiah pegawai ini ?
Jawab :
Pengertian Hadiah Pegawai (Gratifikasi )
Hadiah Pegawai atau sering disebut dengan
Gartifikasi adalah uang hadiah yang diberikan pada pegawai di luar gaji yang
yang telah ditentukan.[1]
Di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi
Penjelasan Pasal 12 B ayat (1) gratifikasi
adalah, pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang rabat
(diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan,
perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.
Hukum Hadiah Pegawai (gratifikasi )
Hukum Hadiah Pegawai (gratifikasi )
Hadiah Pegawai (gratifikasi ) hukumnya haram
berdasarkan hadist Abu Humaid as-Sa’idi di bawah ini :
عَنْ
أَبِي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
قَالَ اسْتَعْمَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ رَجُلًا مِنْ الْأَزْدِ يُقَالُ
لَهُ ابْنُ الْأُتْبِيَّةِ عَلَى
الصَّدَقَةِ فَلَمَّا قَدِمَ قَالَ هَذَا
لَكُمْ وَهَذَا أُهْدِيَ لِي قَالَ فَهَلَّا
جَلَسَ فِي بَيْتِ أَبِيهِ
أَوْ بَيْتِ أُمِّهِ فَيَنْظُرَ
يُهْدَى لَهُ أَمْ لَا
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يَأْخُذُ أَحَدٌ
مِنْهُ شَيْئًا إِلَّا جَاءَ بِهِ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْمِلُهُ عَلَى رَقَبَتِهِ إِنْ
كَانَ بَعِيرًا لَهُ رُغَاءٌ أَوْ
بَقَرَةً لَهَا خُوَارٌ أَوْ
شَاةً تَيْعَرُ ثُمَّ رَفَعَ بِيَدِهِ
حَتَّى رَأَيْنَا عُفْرَةَ إِبْطَيْهِ اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ اللَّهُمَّ
هَلْ بَلَّغْتُ ثَلَاثًا
Dari Abu Humaid as-Sa'idi radhiyallahu 'anhu
berkata: "Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memperkerjakan seorang
laki-laki dari suku al-Azdi yang bernama Ibnu Lutbiah sebagai pemungut zakat.
Ketika datang dari tugasnya, dia berkata: "Ini untuk kalian sebagai zakat
dan ini dihadiahkan untukku". Beliau bersabda : " Cobalah dia duduk
saja di rumah ayahnya atau ibunya, dan menunggu apakah akan ada yang memberikan
kepadanya hadiah ? Dan demi Dzat yag jiwaku di tangan-Nya, tidak seorangpun
yang mengambil sesuatu dari zakat ini, kecuali dia akan datang pada hari
qiyamat dengan dipikulkan di atas lehernya berupa unta yang berteriak, atau
sapi yang melembuh atau kambing yang mengembik". Kemudian beliau
mengangkat tangan-nya, sehingga terlihat oleh kami ketiak beliau yang putih dan
(berkata,): "Ya Allah bukan kah aku sudah sampaikan, bukankah aku sudah
sampaikan", sebanyak tiga kali. “ [2]
Berkata Ibnu Abdul Barr [3] : “ Hadist di
atas menunjukkan bahwa uang yang diambilnya tersebut adalah ghulul ( barang
curian dari harta rampasan perang ) dan hukumnya haram, sebagaimana firman
Allah subhanahu wa ta’ala :
وَمَنْ
يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan
rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang
dikhianatkannya itu “ [4]
Di dalam kitab Syarhu as-Sunnah, Imam al-Baghawi
menjelaskan bahwa hadist Abu Humaid as-Sa’idi di atas menunjukkan bahwa hadiah
pegawai, pejabat, dan para hakim adalah haram. Hal itu karena pemberian kepada
pegawai (zakat ) tersebut, dimaksudkan agar dia tidak terlalu mempermasalahkan
hal-hal yang mestinya menjadi kewajiban sang pemberi, dan bertujuan untuk
mengurangi hak-hak orang-orang miskin. Adapun yang diberikan kepada para hakim,
agar dia cenderungan kepadanya ketika dalam persidangan. “ [5]
Yang termasuk dalam larangan hadist di atas :
Pertama: Seorang pegawai
perusahaan telekomunikasi yang bertugas memperbaiki saluran atau kabel telpun
yang terputus atau mengalami gangguan. Dia tidak boleh menerima atau meminta
upah tambahan dari kerjanya dari para pelanggan, karena sudah mendapatkan gaji
bulanan dari perusahaannya. Jika ia menghambil atau meminta upah lagi hal itu
bisa merusak kerjanya, karena dia akan cenderung untuk mendahulukan para
pelanggan yang memberikan kepadanya uang lebih, dan membiarkan pelanggan yang
memberikan kepadanya uang sedikit atau yang tidak memberikannya sama sekali.
Kedua: Seorang pegawai
Departemen Agama yang ditugaskan untuk mengurusi penyewaan tempat tinggal atau
asrama jama’ah haji selama di Makka dan Madinah. Dia tidak boleh menyewa tempat
tinggal yang lebih murah, dengan tujuan akan mendapatkan uang discount dari
penyewaan tersebut yang akan masuk ke kantong pribadinya, karena hal ini akan
merugikan jama’ah haji secara umum. Akibat ulah petugas tadi, jama’ah haji
tersebut terpaksa tinggal di apartemen-apartemen yang tidak standar dan jauh
dari Masjidil Haram.
Ketiga: Seorang pengurus masjid yang ditugaskan untuk membeli kambing kurban dalam jumlah yang banyak pada hari Raya Idul Adha, dia tidak boleh mengambil uang discount dari pembelian tersebut, kecuali harus melaporkan kepada pengurus secara transparan.
Keempat: Seorang petugas Lembaga Zakat ketika mengambil zakat dari masyarakat atau anggota, tidak boleh mengambil uang tambahan dari pembayar zakat, karena dia sudah dapat gaji dari lembaga tersebut, kecuali dia melaporkankan kepada lembaga tersebut bahwa dia diberi uang tambahan, apakah tambahan itu akan diambil lembaga untuk kepentingan umat atau diberikan kepada petugas tersebut sebagai tambahan gaji, maka yang menentukan adalah aturan dalam lembaga tersebut.
Ketiga: Seorang pengurus masjid yang ditugaskan untuk membeli kambing kurban dalam jumlah yang banyak pada hari Raya Idul Adha, dia tidak boleh mengambil uang discount dari pembelian tersebut, kecuali harus melaporkan kepada pengurus secara transparan.
Keempat: Seorang petugas Lembaga Zakat ketika mengambil zakat dari masyarakat atau anggota, tidak boleh mengambil uang tambahan dari pembayar zakat, karena dia sudah dapat gaji dari lembaga tersebut, kecuali dia melaporkankan kepada lembaga tersebut bahwa dia diberi uang tambahan, apakah tambahan itu akan diambil lembaga untuk kepentingan umat atau diberikan kepada petugas tersebut sebagai tambahan gaji, maka yang menentukan adalah aturan dalam lembaga tersebut.
Kelima: Seorang pengurus sebuah
arisan yang sudah mendapatkan gaji tetap dari peserta arisan, ketika membelikan
sepeda motor untuk salah satu peserta yang mendapatkan undian, maka dia tidak
boleh mengambil discount dari pembelian tersebut, dan harus dilaporkan kepada
seluruh peserta.
Keenam: Seorang hakim tidak
boleh menerima hadiah dari orang yang masalahnya sedang dia tangani, karena hal
itu akan mempengaruhi di dalam keputusan hukum.
Ketujuh: Seorang petugas pajak,
tidak boleh menerima hadiah dari para pembayar pajak, karena hal itu akan
menyebabkannya tidak disiplin di dalam menjalankan tugasnya, dan tidak terlalu
ketat di dalam menghitung kewajiban pembayar, karena sudah mendapatkan hadiah
darinya.
Diriwayatkan bahwa Rasulullah shallahu ‘alai wassalam mengirim Muadz bin Jabal ke Yaman, kemudian pada pemerintahaan Abu Bakar , beliau mengirim Umar pada musim haji ke Mekkah. Ketika sedang di Arafah Umar bertemu dengan Muadz bin Jabal yang datang dari Yaman membawa budak-budak.
Diriwayatkan bahwa Rasulullah shallahu ‘alai wassalam mengirim Muadz bin Jabal ke Yaman, kemudian pada pemerintahaan Abu Bakar , beliau mengirim Umar pada musim haji ke Mekkah. Ketika sedang di Arafah Umar bertemu dengan Muadz bin Jabal yang datang dari Yaman membawa budak-budak.
Umar bertanya kepadanya: “Itu budak-budak
milik siapa ? “ Muadz menjawab : “ Sebagian milik Abu Bakar dan sebagian lagi
milikku “. Umar berkata : “ Sebaiknya kamu serahkan semua budak itu kepada Abu
Bakar, setelah itu jika beliau memberikan kepadamu, maka itu hakmu, tetapi jika
beliau mengambilnya semuanya, maka itu adalah hak beliau ( sebagai pemimpin ).”
Muadz berkata : “ Kenapa saya hartus menyerahkan semuanya kepada Abu Bakar,
saya tidak akan memberikan hadiah yang diberikan kepadaku.“
Kemudian Muadz pergi ke tempat tinggalnya. Pada
pagi hari Muadz ketemu lagi dengan Umar dan mengatakan: "Wahai Umar
tadi malam aku bermimpi mau masuk neraka, tiba-tiba kamu datang untuk
menyelematkan diriku, makanya sekarang saya taat kepadamu. “ Kemudian Muadz
pergi ke Abu Bakar dan berkata : “ Sebagian budak adalah milikmu dan sebagian
lain adalah hadiah untukku, tapi saya serahkan kepadamu semuanya.” Kemudian Abu
Bakar mengatakan : “ Adapun budak-budak yang dihadiahkan kepadamu, saya
kembalikan kepadamu.” [6]
Atsar di atas menunjukan bahwa jika
seorang pegawai di dalam menjalankan tugasnya mendapatkan hadiah, hendaknya
dilaporkan secara transparan kepada lembaga yang mengirimnya. Kemudian apakah
lembaga tersebut akan mengijinkannya untuk mengambil hadiah itu atau memintanya
untuk kepentingan lembaga, maka ini diserahkan kepada aturan dalam lembaga
tersebut.
Dampak Negatif
Hadiah pegawai (gratifikasi ) ini akan merusak
tatanan negara secara keseluruhan dan akan mengganggu kerja pegawai, serta
mencabut rasa amanah dari diri mereka. Dampak negatif tersebut bisa dirinci
sebagai berikut :
1. Sang pegawai akan lebih cenderung dan lebih
senang untuk melayani orang yang memberikan kepadanya hadiah. Sebaliknya dia
malas untuk melayani orang-orang yang tidak memberikan kepadanya hadiah,
padahal semua konsumen mempunyai hak yang sama, yaitu mendapatkan pelayanan
dari pegawai tersebut secara adil dan proposional, karena pegawai tersebut
sudah mendapatkan gaji secara rutin dari perusahaan yang mengirimnya.
2. Sang pegawai ketika mendapatkan hadiah dari
salah seorang konsumen, mengakibatkan dia bekerja tidak profesional lagi. Dia
merasa tidak mewakili perusahaan yang mengirimnya, tetapi merasa bahwa dia
bekerja untuk dirinya sendiri.
3. Si pegawai ketika bekerja selalu dalam keadaan
mengharap-harap hadiah dari konsumen. Hal ini merupakan kebiasaan buruk yang
harus dihilangkan, karena Islam mengajarkan umatnya untuk selalu menjaga harga
diri dan menjauhi dari mengharap apa yang ada di tangan orang lain.
Islam juga mengharamkan umatnya untuk
meminta-minta kecuali dalam keadaan darurat. Pegawai yang meminta hadiah dari
konsumen yang sebenarnya bukan haknya termasuk dalam katogori meminta-minta
yang dilarang dalam Islam.
Sebagian ulama membolehkan untuk memberikan
hadiah atau uang tambahan kepada pegawai bawahan yang miskin dan keadaannya
sangat memprihatinkan, jika hal itu tidak mempengaruhi kerjanya dan tidak
berdampak kepada instansi atau lembaga yang mengutusnya, umpamanya dengan
memberikan kepadanya sesuatu setelah selesai bekerja dan dia tidak lagi membutuhkan
pegawai tersebut.
Maka, sebaiknya dipisahkan antara pemberian
hadiah karena pekerjaan dengan pemberian hadiah karena faktor lain, seperti
ingin membantunya karena dia miskin atau karena dia sedang sakit dan
membutuhkan uang. Walaupun demikian, sebaiknya jika seseorang ingin membantunya
hendaknya memberikannya di waktu lain dan pada kesempatan yang berbeda, supaya
menjadia lebih jelas bahwa dia memberikan hadiah itu semata-mata faktor
kemanusiaan, bukan karena pekerjaannya. Itupun sebaiknya dihindari sebisa
mungkin dan janganlah menjadi sebuah kebiasaan, demi menjaga diri kita dari
sesuatu yang diharamkan dalam Islam. Wallahu A’lam.
oleh: Dr. Ahmad Zain An Najah
{ 0 Comment... Skip ke Box Comments }
Post a Comment