Siapa yang suka melihat seorang laki-laki yang masih berjalan di muka bumi, padahal ia rela memberikan nyawanya, maka hendaklah ia memandang Thalhah …….!”
Dia adalah Thalhah bin Ubaidillah bin Utsman bin Amr bin Ka’ab bin Sa’ad bin Taim bin Murrah bin Ka’ab bin Luay. Nasab Thalhah bertemu dengan Rasulullah saw pada Murah bin Ka’ab.
Ketika dalam perjalanan berniaganya ke kota Bashra, Thalhah bin Ubaidillah berjumpa dengan seorang pendeta yang amat baik. Di waktu itu s`ng pendeta memberi tahu padanya, bahwa ada seorang Nabi yang akan muncul di tanah Haram, sebagaimana telah diramalkan oleh para Nabi yang shalih, masa tersebut telah datang. Diperingatkannya pula agar Thalhah tidak ketinggalan menyertai kafilah kerasulan itu, yaitu kafilah pembawa petunjuk, rahmat dan pembebasan.
Dan sewaktu Thalhah tiba kembali di negerinya Mekkah, sesudah berbulan-bulan dihabiskannya di Bashra, ia menangkap bisik-bisik penduduk dan mendengar percakapan tentang Muhammad Al Amin dan tentang wahyu yang telah datang kepadanya, begitupun tentang kerasulan yang dibawanya kepada seluruh umat manusia.
Orang yang mula-mula ditanyakan Thalhah ialah Abu Bakar. Maka diketahuinya bahwa ia baru saja pulang dengan kafilah beserta barang perniagaaannya, dan bahwa ia berdiri di samping Muhammad saw selaku mukmin, sebagai pembela yang menyerahkan dirinya kepada Tuhan pemeliharanya.
Thalhah berbicara kepada dirinya sendiri: ”Muhammad saw dan Abu Bakar, demi Allah, tak mungkin kedua orang ini bersekongkol dalam kesesatan kapanpun”. Muhammad saw telah mencapai usia 40 tahun, masyarakatpun mengenal bahwa belum pernah beliau melakukan kebohongan sampai usianya yang sekian lama itu. Apakah mungkin ia berdusta hari ini terhadap Allah. Apakah mungkin ia berdusta lalu mengatakan bahwa Allah telah mengutusnya dan mengirimkan wahyu kepadanya... Suatu hal yang tidak masuk akal!
Thalhah pun menemui Abu Bakar. Dan berlangsunglah pembicaraan di antara keduanya. Kemudian ia ditemani Abu Bakar pergi kepada Rasulullah saw, dimana ia menyatakan keislamannya dan mengambil tempat dalam kafilah yang diberkati ini, dari angkatan pertama. begitulah Thalhah termasuk orang yang memeluk Islam pada angkatan terdahulu.
Thalhah termasuk seorang yang terpandang dalam kaumnya, dan seorang hartawan besar dengan perniagaan yang selalu meningkat. Apabila ia telah melaksanakan haq Tuhan Pemeliharanya, dengan beribadah dan berjihad, ia pergi berusaha di muka bumi, mencari keridhaan Allah dengan mengembangkan perniagaannya yang memberi laba, dan usaha-usaha lain yang membawa hasil. Thalhah ra adalah seorang Muslimin yang terbanyak hartanya dan paling berkembang kejayaannya. Semua harta bendanya dipergunakannya untuk perjuangan Islam, yang benderanya dipanggulnya bersama Rasulullah saw. Dinafqahkannya hartanya tanpa batas dan oleh sebab itu pula Allah menambahkan untuknya secara tak berhingga pula.
Rasulullah saw memberinya gelar “Thalhah si baik hati” atau “Thalah si pemurah” dan “Thalhah si dermawan” sebagai pujian atas kedermawanannya yang melimpah-limpah. dan setiap kali mengeluarkan hartanya sebegitu banyak, maka ternyata Allah yang Maha Pemurah menggantinya berlipat ganda.
Istrinya Su’da bin Auf menceritakan, katanya: ”Suatu hari saya menemukan Thalhah berduka cita, aku bertanya kepadanya: ”Ada apa denganmu..?” Maka jawabnya: ”Soal harta yang ada padaku ini..!” semakin banyak juga, hingga menyusahkan dan menyempitkanku!” Katanya: ”Tidak jadi soal, bagi-bagikan saja!” Ia lalu berdiri memanggil orang banyak, kemudian membagi-bagikannya kepada mereka, hingga tidak ada yang tinggal lagi walau satu dirham..”
Di suatu saat setelah ia menjual sebidang tanah dengan harga yang tinggi, maka dilihatnya tumukan harta. Lalu mengalirlah air matanya, kemudian dia berkata: ”Sungguh, bila seseorang dibebani memalami harta yang beghni banyaknya dan tidak tahu apa yang akan terjadi pasti akan menggangu ketentraman ibadah kepada Allah”. Kemudian dipanggilnya sebagian shahabatnya dan bersama-sama mereka membawa hartanya itu berkeliling melalui jalan-jalan kota Madinah dan rumah-rumahnya sambil membagi-bagikannya sampai parak siang sehingga tiada yang tertinggal lagi walau satu dirham.
Jabir bin Abdullah menggambarkan pula kepemurahan Thalhah dengan berkata: ”Tak pernah aku melihat seseorang yang lebih dermawan dengan memberikan hartanya yang banyak tanpa diminta lebih dahulu, daripada Thalhah bin Ubaidillah..!”
Ia adalah seorang yang paling banyak berbuat baik kepada keluarga dan kaum kerabatnya; ditanggungnya nafqah mereka semua sekalipun demikian banyaknya. Sebagian orang mengatakan: ”Tak seorangpun dari bani Taim yang mempunyai tanggungan, melainkan dicukupinya perbelanjaan keluarganya. Dinikahkannya anak-anak yatim mereka, diberinya pekerjaan keluarga mereka dan dilunasinya hutang-hutang mereka….”
As Sa’ib bin Zaid menceritakan: “Aku telah menemui Thalhah baik dalam perjalanan maupun waktu menetap, maka tak pernah kujumpai seseorang yang lebih merata kepemurahannya, baik mengenai uang, kain atau makanan daripada Thalhah.”
Sebagai orang yang pertama masuk Islam, Thalhah menyeksikan dan merasakan berbagai macam penderitaan akibat penganiayaan dan siksaan karena keislamannya, yang dilakukan oleh orang kafir Quraisy sebagaimana yang dialami kaum muslimin yang lain, sekalipun ia orang yang terpandang dalam kaumnya, dan seorang hartawan besar dengan perniagaan yang selalu meningkat. Hanya saja Thalhah dan Abu Bakar mendapat perlindungan dari Naufal bin Khuwailid, si singa Quraisy paman Khadijah, istri Rasul saw. sehingga penganiaaya terhadap keduanya tidak berlangsung lama, karena orang-orang musryrik Quraisy merasa segan kepadanya serta takut pula akan akibat perbuatan mereka.
Thalhah ikut berhijrah ke Madinah sewaktu orang-orang Islam diperintahkan hijrah. Kemudian ia selalu menyaksikan semua peperangan bersama Rasulullah saw, kecuali perang Badar, karena waktu itu Rasul saw mengutusnya bersama Sa’ad bin Zaid untuk suatu keperluan penting keluar kota Madinah.
Sewaktu keduanya telah menyelesaikan tugas mereka dengan baik, dan kembali ke Madinah, kebetulah Nabi saw dengan para shahabatnya yang lain sedang kembali pula dari perang Badar. Alangkah sedih dan perih perasaan keduanya kehilangan pahala karena tidak menyertai Rasulullah saw berjihad dalam peperangan yang pertama itu.
Tetapi Rasul saw menentramkan hati mereka hingga tenang dan mantap dengan memberitahukan bahwa mereka tetap memperoleh pahala dan ganjaran yang sama seperti orang-orang yang berperang. Bahkan Rasul saw membagikan rampasan perang kepada keduanya, tidak kurang dari mereka yang didapat oleh mereka yang menyertainya.
Ketika terjadi perang Uhud yang memperlihatkan segala kebengisan dan kekejaman Quraisy, yang tampil hendak membalas dendam atas kekalahannya di perang Badar dan untuk mengamankan tujuan terakhirnya dengan menimpakan kekalahan yang menentukan atas Muslimin yang menurut perkiraan mereka suatu soal mudah dan pasti dapat terlaksana.
Peperangan dahsyat pun$26nbsp; berlangsung dan korban-korban yang berjatuhan, kekalahan tampak berada di fihak kaum musyrikin. Kemudian sewaktu kaum Muslimin melihat musuh mengundurkan diri, mereka sama meletakkan senjata dan para pemanah turun meninggalkan kedudukan mereka, pergi memperebutkan harta rampasan.
Tiba-tiba sewaktu mereka lengah, pasukan Quraisy menyerang kembali dari belakang hingga berhasil merebut prakarsa dan menguasai kendali pertempuran. Sekarang peperangan mulai berkecamuk lagi dengan segala kekejaman dan kedahsyatannya. Serangan mendadak yang tiba-tiba itu, rupanya telah menceraiberaikan barisan Kaum Muslimin. Thalhah memperhatikan daerah peperangan tempat Rasulullah saw bediri. Dilihatnya Rasulullah saw menjadi sasaran empuk serbuan pasukan penyembah berhala dan musyrik, maka ia pun dengan cepat bersegera ke arah Rasullah saw. Thalhah ra. terus maju menebas jalan yang walaupun pendek tetapi terasa panjang, setiap jengkal jalan dihadang puluhan pedang yang bersilang dan tombak-tombak yang mencari mangsanya.
Dari jauh dilihatnya Rasulullah saw bercucuran darah dari pipinya, sedang berjalan menahan kesakitan yang amat sangat. Ia naik pitam dan berang, lalu diambilnya jalan pintas dengan satu atau dua lompatan dahsyat dari kudanya dan benarlah, dihadapan Rasulullah saw sekarang ia menemukan apa yang ditakutinya, pedang-pedang musyrikin menyambar-nyambar kearah Rasul saw, mengepung dan hendak membinasakannya, bagaikan satu peleton tentara, Thalhah berdiri kokoh dan mengayunkan pedangnya yang ampuh ke kiri dan ke kanan. Ia dapat melihat darah Rasul saw yang mulia menetes dan mendengar rintihan kesakitannya. Maka diraihnya Nabi saw dengan tangan kiri dari lobang tempat kakinya terperosok, sambil memapah Rasul saw yang mulia dengan dekapan tangan kiri ke dadanya, ia mundur ke tempat yang aman, sementara tangan kanannya – Allah memberkati tangan kanannya – mengayun-ayunkan pedangnya bagaikan kilat menusuk dan menyabet orang-orang musyrik yang hendak mengerumuni Rasul saw bagaikan belalang memenuhi medan pertempuran.
Bakar Shidiq ra menggambarkan keadaman medan tempur kala itu, kata Aisyah: ”Bila disebutkan perang Uhud, maka Abu Bakar berkata: ”Itu semuanya adalah hari Thalhah…! Aku adalah orang yang mula-mula mendapatkan Nabi saw, maka berkatalah Rasul saw kepadaku dan kepada Abu Ubaidah Ibnul Jarrah: ”Tolong, saudaramu itu…(Thalhah)!” Kami lalu menengoknya, dan ternyata pada sekujur tubuhnya terdapat lebih dari tujuh puluh luka berupa tusukan tombak, sobekan pedang dan tancapan panah, dan ternyata anak jarinya putus, maka kami segera merawatnya dengan baik.”
Semua medan tempur dan peperangan Thalhah selalu berada di barisan terdepan, mencari keridhaan Allah dan membela Rasul-Nya. Thalhah hidup di tengah-tengah jama’ah Muslimin, mengabdi kepada Allah bersama mereka yang beribadah, dan berjihad di jalan-Nya bersama mujahidin yang lain.
Pada masa Khilafah Utsman ra. timbul masalah besar besar, Thalhah menyokong alasan mereka yang menentang Utsman dan membenarkan sebagian tuntutan mereka mengenai perubahan dan perbaikan. Akan tetapi, akhir dari haltesebut adalah hal yang sama sekali tidak diinginkan, yaitu terbunuhnya “Dzun Nur’ain” Utsman bin ‘Affan dalam peristiwa berdarah dan kejam.
Setelah itu, Ali bin Abi Thalib menerima Bai’at dari kaum Muslimin di Mdinah, di antaranya Thalhah dan Zubair, kemudian keduanya meminta izin pergi melaksanakan ‘umrah ke Mekkah. Dari Mekkah mereka menuju Bashra dan disana telah berhimpun banyak kekuatan yang hendak menuntut bela kematian Utsman. “Waq’atul Jammal” atau peristiwa perang Berunta adalah peran di mana bertempur dua pasukan, yang satu menuntut bela atas terbunuhnya Utsman dan yang lain pasukan khalifah yang sah di bawah Khalifah Ali bin Abi Thalib ra.
Adapun Imam Ali dalam memikirkan situasi sulit yang sedang melanda Islam dan Kaum Muslimin, diapun bersedih namun ia dipaksa untuk bertindak keras dan tegas dalam kedudukannya selaku khalifah Muslimin, tak ada jalan lain, dan tidak sepantasnya ia bersikap lunak terhadap pembangkanan atas pemerintahan yang sah, atau terhadap setiap pemberontakan bersenjata melawan Khalifah yang telah dikukuhkan syari’at.
Di kala ia bangkit untuk memadamkan pemberontakan semcam ini, maka ia selalu mencari jalan untuk menghindarkan tertumpahnya darah saudara-saudaranya, para shahabat dan teman-temannya, para pengikut Rasulullah saw, yaitu mereka yang semenjak lama telah berperang bersamanya melawan tentara musyrik, menerjuni pertempuran bahu-membahu di bawah bendera tauhid yang mempersatukan mereka sebagai satu keluarga, bahkan menjadikan mereka sebagai saudara kandung yang saling membela.
Peperangan tidak dapat dihindari, Ali menangis dan mengucurkan air mata sewatu ia melihat Ummul Mu’minin, Aisyah, yang juga sebagai istri mertuanya, dalam sekedup untanya, bertindak sebagai panglima perang bala tentara yang hendak memerangnya, dan Thalhah dan Zubair, pembela-pembela Rasulullah saw itu berada di tengah-tengah pasukan Aisyah. Ali memanggil Thalhah dan Zubair agar keduanya muncul menghadapnya, keduanya pun tampil hingga leher kuda-kuda mereka bersentuhan. Ali berkata kepada Thalhah :” Hai Thalhah, pantaskah engkau membawa isteri Rasulullah untuk berperang, sedangkan istrimu sendiri kau tinggalkan di rumah?” Kemudian katanya kepada Zubair: ”Aku minta kau jawab karena Allah! Tidakkah engkau ingat, di suatu hari Rasulullah saw lewat di hadapanmu sedang ketika itu kita sedang berada di tempat si fulan. Beliau berkata kepadamu:” Wahai Zubair tidakkah engkau cinta kepada Ali?, maka jawabmu, ”Mengapa aku tidak cinta kepada saudara sepupuku, anak bibi dan anak pamanku, serta orang yang satu agama denganku?” Waktu itu beliau berkata lagi:” Hai Zubair, demi Allah, bila engkau memeranginya, jelas engkau berlaku dhalim kepadanya!” Waktu itu berkatalah Zubair ra.: “Ya, sekarang aku ingat, hampir aku melupakannya! Demi Allah aku tak akan memerangimu.!”
Thalhah dan Zubair menarik diri dari perang saudara ini. mereka menghentikan peperangan segera setelah tahu duduk persoalannya, apalagi ketika mereka melihat Ammar bin Yasir berperang di fihak Ali. Mereka teringat akan sabda Rasulullah saw kepada Ammar: ”Yang akan membunuhmu ialah golongan orang durhaka..!” Seandainya Ammar terbunuh dalam peperangan yang disertai Thalhah ini, tentulah ia termasuk golongan orang-orang yang durhaka.
Thalhah dan Zubair mengundurkan diri dari peperangan, dan mereka terpaksa membayar harga pengunduran itu sampai nyawa mereka. Tetapi mereka beruntung dapat menemui Allah dengan hati yang senang dan tentram, disebabkan karunia yang tela dilimpahkanNya kepada mereka, berupa petunjuk dan fikiran yang benar.
Adapun Zubair ia telah diikuti seorang laki-laki bernama Amru bin Jarmuz yang membunuhnya dikala ia sedang lengah, yakni sewaku ia sedang shalat. Sedangkan Thalhah, ia dipanah oleh Marwan bin Hakam yang menghabisi hayatnya. Akhirnya, Ummul Mu’minin, Asyah ra menyadari bahwa ia telah tergesa-gesa dalam menghadapai persoalan itu, karena itu ditinggalkannya Bashra menuju Baitul Haram dan terus ke Madinah, tak hendak campur tangan lagi dalam pertarungan itu. Ia dibekali oleh Imam Ali dalam perjalanannya dengan segala perbekalan dan diringi penghormatan.
Sewaktu Ali meninjau orang-orang yang gugur sebagai syuhada di medan tempur, semua mereka dishalatkannya, baik yang bertempur dipihaknya maupun yang menentangnya. Dan tatkala keduanya selesai memakamkan Thalhah dan Zubair, ia berdiri melepas keduanya dengan kata;-kata indah dan mulia, yang disudahinya dengan kalimat-kalimat berikut ini: “Sesungguhnya aku amat mengharapkan agar aku bersama Thalhah dan Zubair dan Utsman, termasuk diantara orang-orang yang difirmankan Allah: “Dan kami cabut apa yang bersarang dalam dada mereka dari kebencian sebagai layaknya orang bersaudara dan di atas pelaminan mereka bercengkrama berhadap-hadapan”
Kemudian disapunya makam mereka dengan pandangan kasih sayang, yang keluar dari hati bersih dan penuh belas kasih seraya berkata: “Kedua telingaku telah mendengar sendiri sabda Rasulullah saw: ”Thalhah dan Zubair menjadi tetanggaku dalam surga”.